Dibilangnya tidak punya tenggangrasa, dan tidak mengerti kondisi wabah corona. Padahal sudah menempati sewa petak ini lebih dari 10 tahun.
 Adu mulut demikian tidak ditanggapi serius oleh mas Sumeng. Ia menganggap hiburan. Keduanya seperti suara pedagang obat di lapak di mana ia usaha. Pedagang obat yang juga suaranya sudah parau, tak lagi nyaring, dan cempreng. Sebab tidak laku sama sekali yang dijualnya.
Kata mas Sumeng pada mas Mo di saat tengah malam istirahat mereka di muka rumah petak," sampai kapan keadaan begini ya mas?"
"Tidak ada yang tahu, mas. Semua orang merasakan hal yang sama."
Lalu hening sesaat. Cuma bunyi kretek sigaret yang mereka isap, dan dilepas dengan membentuk bulatan-bulatan dari congornya.
"Kalo selama  wabah ini berapa peci yang terjual mas?Tanya mas Mo.
"Dua, kadang tiga. Tapi tidak ada untung."
"Lho kok sama."
Hening lagi. Hanya bunyi tikus got yang mondar mandir di dekat mereka sebentar, lalu nyemplung.
Mereka punya kesamaan berpikir. Jika menjual usaha tidak ada untung, maka stock yang dijualnya habis. Habis sudah apa yang menjadi andalannya untuk hidup keluarga. Sekadar bertahan sudah pasti. Tapi bayangan ke laparan ada di depan mata.
Mas Mo, dan mas Sumeng segera masuk ke dalam. Takut, dan kuatir membayangi hal demikian.Â