Mbak Um murung. Sejak pandemi ini, Azam anaknya sulit dikendalikan lagi. Masalahnya ia ingin sekolah. Dan, kangen teman-temannya. Tiap waktu belajar di rumah selalu teriak. Katanya bosan. Sementara mbak Um cuma bisa mengelus bayi di dalam kandungannya yang sudah berusia lima bulan. Â Ia menyerah dengan prilaku Azam yang sudah mengalami perubahan ini.
Sementara Bu Tut selalu menagih uang sewa rumah yang sudah telat satu bulan. Tidak pernah pemilik rumah sewa ini sekadar mengerti keadaan rumah tangganya. Ia sering mengancam jika sampai dua bulan, maka akan diusirnya.
Mbak Um sudah minta pada suaminya, Mas Mo untuk usaha sampingan. Tapi suaminya tetap bertahan untuk konsentrasi dagang tas saja. Alasannya stock barang masih banyak. Jika ia kerja sampingan lain, belum tentu juga menghasilkan. Karena kondisi wabah yang belum reda, dan bakal ada tanda-tanda untuk selesai.
Setidaknya untuk sekadar makan masih bisa dicukupi. Itu pun dibantu juga "sedekah" sembako dari pemerintah.Â
Menurut mas Mo pada istrinya," terpenting kita semua masih diberikan kesehatan."
Namun begitu di samping petak sewa Mas Mo, dan Mbak Um beda keadaannya. Mereka tiap hari tak pernah sekalipun tenang. Selalu ribut, dan teriak keras. Terutama anaknya yang lelaki yang masih kelas dua sekolah dasar. Nama panggilannya Medi. Aslinya Memed Sumemed.
Sebelum ada pandemi ia bersama Azam dikenal cerdas, dan pandai. Selalu rajin, dan patuh pada orang tua, terlebih pada guru sekolah. Keduanya akrab, dan saling membantu sama lain. Sekarang dirasakan sudah tidak lagi peduli satu sama lain. Azam ya dengan masalahnya. Medi demikian.
Jika Azam teriak itu karena terasa bosan, dan malas mengerjakan PR yang diawasi mbak Um. Sementara Medi, tidak cuma bosan diawasi tugas PR-nya semata. Tapi juga quota yang berbagi dengan kakaknya, Tina.
Tina, dan Medi mesti bergantian menggunakan gawai itu. Padahal itu juga milik bapaknya, mas Sumeng. Â Mas Sumeng juga pedagang. Tapi ia pedagang peci di lapak yang ia sewa semalamnya 20 ribu, berdampingan dengan mas Mo. Mereka buka sejak habis maghrib hingga pukul 10 malam.
Praktis untuk urusan dagang mas Sumeng mesti mengalah dengan kebutuhan anak-anaknya. Tambahan lagi sepi pembeli. Paling tiap hari yang ia bawa pulang cuma penjualan dua peci. Itu pun dijual suai modal saja.
Soal Bu Tut juga dialami mas Sumeng sebagaimana mas Mo. Siap-siap diusir jika dua bulan tidak sanggup bayar lagi. Kadang istrinya mas Sumeng, mbak Ga kerap  adu mulut dengan Bu Tut ini.Â