Aku seorang perempuan. Perempuan yang jual diri untuk uang, dan kesenangan pada seorang lelaki tua. Aku bukan wanita simpanan, juga bukan pelakor.Â
Aku bukan gadis, juga bukan janda. Tapi aku seorang ibu dari bayi yang aku terima lewat seorang perempuan muda. Aku terima bayi ini, dan tak mau tanya asal-usulnya. Bukan jual beli. Ini hadiah.
Lalu, di hari gerimis, dan malam, lelaki tua itu datang kembali. Dia datang untuk yang ke sekian kalinya. Datang bersama ribuan kalimat nafsu. Kalimat yang bagiku bukan rayuan, juga buka pujian. Dibilangnya aku cantik yang disebutnya dalam keremangan malam itu .
Katanya lagi, betisku seksi seperti padi bunting. Berulangkali. Dibisikkan kata itu diredup cahaya lampu teplok antik satu-satunya sebagai warisan. Lampu teplok yang aku suka, yang sudah menerangi jalan hidupku selama ini. Dia pun bebas di bilik kamarku.
Dia bilang juga rambut lurusku tergerai bila terhembus angin. Seperti ombak di lautan luas. Bola mataku yang hitam bulat disebutnya  bagai purnama yang meneranginya. Lalu dia mendekap erat sembari berulangkali mengatakan hal itu. Aku menahan nafas.
Tidak terlena juga tidak melenakan. Situasi yang justru tak kuasa aku tolak. Aku menerimanya, dan dia membawaku ke arah yang aku tahu tujuannya.
Ada gairah di sana. Ada klimaks di sana. Malam itu kami berakhir bak rajungan letih tak karuan.
Tergopoh aku di sorot cahaya pagi dari balik jendela. Tapi dia tetap mendengkur. Dia tak peduli. Namun di kamar yang berjarak dari tempat tinggalku terdengar suara pilu merintih. Suara anak bayi yang haus air susu ibu dari kamar sebelah.
Dan aku ibunya, yang lelah menyusui lelaki tua ini. Aku tidak menyesali. Aku ingin segera bersama bayiku di sana.
Aku bangunkan dia. Aku minta apa yang menjadi hakku. Aku menuntut kewajiban dia. Dia malah menatapku seperti memohon. Katanya sembari bertanya,"bisakah aku hutang untukmu kali ini saja?"
"Ah, bandot tua sialan!"
Mestinya kaubilang tak punya uang kali ini. Harusnya kaubilang sejak awal agar aku bisa menasehatimu. Menasehatimu agar uang yang kauhabiskan untukku selama ini bisa mengobati penyakit kencing manis binimu. Tapi kaumemang lelaki tua sialan. Keterlaluan!
Aku mengusirnya sambil mengingat hutangnya padaku malam ini. Sembari menjauh dan menahan jijik akhirnya.
Aku sadar. Dan, aku mencatat hutangnya untuk satu malam ini. Biarkan dia menjadi satu-satunya lelaki tua yang punya utang atas niaga yang aku jalani. Tanpa bunga, dan tanpa cicilan. Tetap masa bodoh dengan alasan apapun dari dia.
Tapi sayang seiring waktu tak ada kabar yang aku terima darinya. Justru suatu ketika aku melihatnya. Bandot tua ini sedang mengais sampah di sisi kali yang menjadi tempat pembuangan akhir.
Aku menghampirinya. Aku tagih hutangnya sebelum dia jadi pupuk bumi. Dan ia tidak terkejut di dekatku.
Katanya, anak dan istrinya mengusir dia. Katanya tempat di mana ia kerja bangkrut. Katanya, ia tidur dari satu pos ronda ke pos yang lainnya. Katanya lagi, tak ada uang untuk membayar hutang itu.
Kataku,"tetap bayar hutang itu!"
Tapi dia malah menyerahkan padaku lampu teplok antik mirip yang aku punya dari keranjang sampah yang dibawanya. Sebagai pengganti atas utangnya.
 Aku terima, dan bertanya," darimana punya lampu ini?"
Lelaki tua ini cuma mengalihkan pandang, dan berlalu begitu saja meninggalkanku. Ia menuju tumpukan sampah yang menggunung disusul aroma busuknya yang mulai tajam. Ia kemudian lenyap di antara timbunan sampah yang membukit yang diselimuti kabut asap di sekitarnya.
Aku kemudian pergi, tak lagi peduli. Tak peduli juga dengan apa yang kujalani di masa lalu. Aku tobat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI