Mestinya kaubilang tak punya uang kali ini. Harusnya kaubilang sejak awal agar aku bisa menasehatimu. Menasehatimu agar uang yang kauhabiskan untukku selama ini bisa mengobati penyakit kencing manis binimu. Tapi kaumemang lelaki tua sialan. Keterlaluan!
Aku mengusirnya sambil mengingat hutangnya padaku malam ini. Sembari menjauh dan menahan jijik akhirnya.
Aku sadar. Dan, aku mencatat hutangnya untuk satu malam ini. Biarkan dia menjadi satu-satunya lelaki tua yang punya utang atas niaga yang aku jalani. Tanpa bunga, dan tanpa cicilan. Tetap masa bodoh dengan alasan apapun dari dia.
Tapi sayang seiring waktu tak ada kabar yang aku terima darinya. Justru suatu ketika aku melihatnya. Bandot tua ini sedang mengais sampah di sisi kali yang menjadi tempat pembuangan akhir.
Aku menghampirinya. Aku tagih hutangnya sebelum dia jadi pupuk bumi. Dan ia tidak terkejut di dekatku.
Katanya, anak dan istrinya mengusir dia. Katanya tempat di mana ia kerja bangkrut. Katanya, ia tidur dari satu pos ronda ke pos yang lainnya. Katanya lagi, tak ada uang untuk membayar hutang itu.
Kataku,"tetap bayar hutang itu!"
Tapi dia malah menyerahkan padaku lampu teplok antik mirip yang aku punya dari keranjang sampah yang dibawanya. Sebagai pengganti atas utangnya.
 Aku terima, dan bertanya," darimana punya lampu ini?"
Lelaki tua ini cuma mengalihkan pandang, dan berlalu begitu saja meninggalkanku. Ia menuju tumpukan sampah yang menggunung disusul aroma busuknya yang mulai tajam. Ia kemudian lenyap di antara timbunan sampah yang membukit yang diselimuti kabut asap di sekitarnya.
Aku kemudian pergi, tak lagi peduli. Tak peduli juga dengan apa yang kujalani di masa lalu. Aku tobat.