Pabrik tempe tradisional di seberang jalan samping warung kopi Mas Kom mulai kesulitan beroperasi. Pasalnya, pekerja sebelumnya yang semuanya sudah berusia di atas 45 tahun dianggap kadaluwarsa, dan tidak layak lagi menjadi sumber daya yang optimal.Â
Mereka dipensiunkan tanpa pesangon, tapi uang kerohiman saja. Karenanya ia mulai membuka lowongan kerja dengan tidak menyebutkan posisi kerja sebagai tenaga apa.
Dari sekian anak-anak muda yang datang dirasakan tidak ada tenaga kerja yang sesuai dengan kompetensi yang dipunyai. Rata-rata anak muda yang melamar kerja pada pabrik, kebanyakan ingin menjadi tenaga administrasi.Â
Padahal yang dibutuhkan itu tenaga ekstra kuat. Yang tidak perlu mikir, dan tidak perlu banyak tingkah. Cukup dengar perintah, tugas dikerjakan maksimal. Kira-kira begitu yang diinginkan bos pabrik pada tiap anak muda yang melamar kerja di tempatnya.
Sebagai owner pabrik, Tuan Pas ini sangat jeli menguji kemampuan anak muda yang datang. Bukan ujian teknis atau cara bikin tempe. Tapi lewat pertanyaan sederhana yang Tuan Pas ajukan.Â
Misalnya, selain asal orang tua darimana, ia juga bertanya pada anak-anak muda itu, usianya berapa tahun saat diwawancara sekarang. Dan, anak-anak muda ini rata-rata menjawab benar sesuai tahun kelahiran mereka. Tapi Tuan Pas menilai itu salah, dan tidak cocok dengan hitungan yang ada padanya.
Walhasil tidak ada satu pun yang bisa diterima kerja di pabriknya. Di sela waktu menunggu kalau-kalau akan datang lagi para pelamar kerja, Tuan Pas sempatkan minum kopi di warung Mas Kom. Â
Di sini segala yang dijual dan disajikan komplit. Segala gorengan, rebusan, maupun keringan available. Tapi cuma tempe yang tidak ada. Tuan Pas tidak perlu bertanya lagi soal ini. Sebab pabriknya sementara belum jalan.
"Kopi paitnya Mas pake cangkir yang biasa," pinta Tuan Pas kalem.
Mas Kom cekatan kemudian penuhi maunya Tuan Pas yang tidak pernah berganti cangkir. Dan, cangkir kaleng ini sengaja disiapkan khusus untuknya. Jadi bisa dikatakan sangat steril dari bekas congor orang lain.
"Bagaimana para pelamar kerja yang datang, Tuan? Apakah sudah ada yang diterima?" tanya Mas Kom membuka perbincangan.
"Belum ada. Dari 10 yang datang maunya pingin jadi tenaga administrasi."
"Memangnya yang dibutuhkan untuk tenaga apa?"
"Ya, kuli, kerja aduk adonan kedelai, masak airnya, tunggu matang, dicetak,dan seterusnya. Ya seperti itu saja."
"Lagian Tuan umumkan di medsos sih. Makanya pasti banyak yang datang."
"Mesti itu, Mas. Supaya anak-anak muda punya harapan, dan pengalaman. Tapi sayang, rata-rata saat ditanya usianya mereka tidak pernah tepat."
"Kok bisa? Kan mereka sudah paham usianya."
"Betul paham. Saya tanya ke mereka sebagai tes awal saja menyangkut usia mereka sekarang. Rata-rata dijawab, 18 tahun., ada yang 19 tahun. Bahkan ada yang brewokan usianya 20 tahun. Mereka menyebut begitu saja."
"Apanya yang salah?"
"Salah tidak, tapi kurang lengkap. Kalau usia 19 tahun, kan tidak persis sama dengan cv di surat yang dibawa mereka. Padahal saya menunggu jawaban mereka, seperti 19 tahun delapan bulan. Atau 18 tahun empat bulan. Tapi rupanya tidak."
"Itu mereka datang darimana Tuan?"
"Dari daerah kebanyakan. Mereka sudah paham di daerahnya tidak ada zonasi. Jadi mereka melamar kerja begitu saja."
Mereka berbincang santai, dan Tuan Pas juga belum memastikan waktunya kapan untuk mengoperasikan pabrik warisan dan turun temurun ini. Sudah empat generasi pabrik tempe yang dikelolanya ini berjalan. Dari tiga generasi sebelumnya, pekerja yang direkrut adalah mereka yang punya keturunan dari buyut, nenek, anak, hingga cucu.Â
Tapi di generasi keempat, tidak ada lagi, sebab mereka sudah bisa mandiri membuat pabrik sejenis di kampungnya. Dan, yang usia 45 tahun ke atas itu yang dipensiunkan, bukan dari keturunan pekerja sebelumnya.
Di tengah perbincangan muncul Mbak Lana, janda bahenol yang menjajakan kue kering, semacam ongol-ongol. Siang ini ia mengantarkan ongol-ongol untuk dititip jual di warung Mas Kom. Ia senang menitipkannya, sebab Mas Kom tidak pernah menaikkan harga seperti kebanyakan warung lainnya.Â
Dari dirinya Rp. 2000, maka Mas Kom menjual pada pelanggannya juga dua ribu perak. Darimana Mbak Lana mengetahui ini? Dari pelanggan lain yang sempat berbincang dengannya tempo hari. Karuan saja ongol-ongolnya laris manis, dan tandas jika dijual di sini.
Rupanya lewat ongol-ongol ini Mas Kom yang perjaka tua, memberi perhatian secara diam-diam pada Mbak Lana. Dan seiring waktu tampaknya perhatian Mas Kom tidak bertepuk sebelah kaki.Â
Mbak Lana pun tidak mau buang waktu. Malah ia sering berimajinasi, kelak jika sudah disunting Mas Kom, maka ia tidak perlu berkeliling kampung. Cukup di warung ini saja jadi ma'mum Mas Kom melayani pelanggan.
"Selamat siang Tuan Pas," sapa janda ini tersenyum dan melirik pada pelanggan Mas Kom.
"Aduh itu senyum manis sekali Mbak," balas Tuan Pas sembari nyeruput kopi, dan membiarkan Mbak Lana meletakkan jajakannya di samping nampan yang berada di dekat Tuan Pas.
Mas Kom sudah mengerti cara Mbak Lana meletakan kuenya dan di mana di tempatkan. Kendati agak bersenggolan dengan Tuan Pas.Â
Mas Kom juga tidak perlu bicara banyak tentang kebiasaan janda ini sejak mulanya menitipkan jual ongol-ongol. Karenanya Mbak Lana tahu persis, Mas Kom sangat pemalu bila berhadapan dengan perempuan.Â
Makanya tiga kali pertemuan saja, Mbak Lana paham betul bahwa Mas Kom menaruh hati padanya. Dan sebagai single fighter tanpa anak, Mbak Lana tidak membuang kesempatan baik pada pria yang punya prospek jelas ini. Jadi ia cukup sigap saja meletakan kuenya sebagai isyarat atau tanda bahwa ia merespon apa yang disimpan di dalam hati Mas Kom padanya.
Namun Tuan Pas rupanya juga punya feeling frontal pada Mbak Lana. Tapi, Mas Kom tidak pernah curiga, bahkan menganggap Tuan Pas sering datang di siang ini sekadar minum kopi saja.Â
Rupanya Tuan Pas rajin sambangi warungnya oleh sebab kehadiran janda ini semata. Bukan main! Di luar dugaan, Mas Kom akhirnya menganggap Tuan Pas jadi kompetitor beratnya yang tidak bisa diremehkan.
"Jadi kapan saya bisa menemui orang tua Mbak?" tanya Tuan Pas sepenuh hati yang didengar Mas Kom setengah semaput.
"Kapan ya?" goda Mbak Lana malu-malu dan melirik Mas Kom yang cemberut padanya.
"Akhir bulan ya saya ke sana. Kita kawin!"
Tuan Pas tidak tersenyum dan juga tidak tertawa. Ia serius mengutarakan itu, bahkan meminta dukungan pada Mas Kom seraya bilang, Mas Kom yang akan jadi saksinya nanti.Â
Mendengar namanya disebut, Mas Kom pura-pura cuci gelas yang sebelumnya sudah dicuci dari ember kecil di bawah meja warung. Ia tidak perlu membalasnya.
"Bagaimana, Mbak?" ulangnya memastikan dan menunggu jawaban,
Tapi rasanya Mbak Lana tidak enak hati untuk mencoba kembali menjawab hal itu. Ia kemudian diam saja. Tinimbang bakal terjadi salah pengertian, mbak Lana memutuskan untuk segera meninggalkan warung ini.Â
Ia pamit, tapi tidak sepatah katapun keluar balasan sebagaimana biasa yang ia dengar dari Mas Kom. Justru Tuan Pas yang begitu semangat mengiringi Mbak Lana keluar dari warung ini.
"Sampai ketemu di kampung Mbak ya?" senyum Tuan Pas mengembang dan Mbak Lana juga melirik antara senang dan galau.
Memang antara Tuan Pas dan Mas Kom usianya tidak terpaut jauh. Bedanya hanya Tuan Pas duda dengan 5 anak saja. Jadi semua itu juga diam-diam dipertimbangkan Mbak Lana. Yang satu juragan tempe, satunya lagi enterpreuner. Karenanya siapa yang sergep duluan, maka mbak Lana akan merelakan dirinya.
Semalaman Mas Kom berpikir keras. Ia memperhitungkan ucapan Tuan Pas yang satu bulan lagi akan ke kampung Mbak Lana. Paling tidak ia akan melamar.Â
Jika itu terjadi, maka harapannya punah sudah. Setiap hari itu pula dalam rentang waktu satu minggu berturut-turut ketika Mbak Lana datang ke warung, Tuan Pas terus memohon.Â
Kadang tidak cuma ucapan, ia berikan juga bunga anggrek plastik, parfum oplosan, bahkan cincin perak sebagai panjer bilangnya. Â Begitu juga di minggu ke dua masih demikian yang dilakukan. Kiranya kalau diperhitungkan sudah lumayan banyak yang diterima Mbak Lana dari juragan tempe ini.
Sepanjang waktu itu Mas Kom benar-benar naik darah. Makanya setelah lewat satu hari dari waktu dua minggu itu, ia putuskan untuk mengawini Mbak Lana.Â
Ia bicarakan ini di saat Tuan Pas telat datang siang ini, oleh sebab ada pelamar perempuan yang hendak melamar kerja pada pabriknya. Dan Mbak Lana pun bahagia mendengar keinginan Mas Kom yang sudah demikian lama dinanti.Â
Esoknya warung tutup, dan esok itu juga Mbak Lana bersiap pulang kampung. Tiga hari kemudian mereka benar-benar menikah di kampung sana yang dihibur oleh orkes organ tunggal.
---------------------
Lebih dari satu minggu mereka berbulan gula. Dan bersiap untuk kembali ke warung yang lama ditinggalkan. Sementara hitungan Tuan Pas ini sudah satu bulan sejak ia mempropose lamarannya pada Mbak Lana yang tak kunjung ada kabar. Apalagi warung di selama waktu itu tutup terus, juga tiada pemberitahuan. Â
Namun rupanya salah satu pelanggan Mas Kom mengabarkan pada Tuan Pas, bahwa warung tutup karena Mas Kom menikahi janda yang biasa menitip jualannya.Â
Karuan saja mendengar itu Tuan Pas bukan main gusar. Tanpa basa basi ia kemudian langsung menyegel warung miliknya yang dikontrakan pada Mas Kom yang masih nunggak satu bulan, dengan papan nama pula.
"WARUNG DITUTUP SEMAUNYA UNTUK PERLUASAN PEMBANGUNAN PABRIK TEMPE".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI