Tidak tiap hari jalan di jembatan itu ramai. Biasanya sepi, dan tenang. Apalagi jika malam, sudah pasti pekat, sebab tiada lampu di sekitarnya. Pagi itu entah apa, kendaraan yang lewat sangat padat. Baik yang dari arah utara menuju selatan maupun sebaliknya. Jembatan ini  memang dua arah yang di lalui oleh kendaraan. Dan, itu sangat sempit jadinya. Tidak ada celah bagi pejalan kaki yang ingin lewat di jembatan itu. Ini tentu saja merugikan bagi orang yang mau melintas di jembatan ini, termasuk pedagang kue basah, seperti mbok Yah. Ia terpaku akhirnya di pojok jembatan karena ragu.
Keraguannya semakin bertambah bila ada motor yang saling serobot untuk mendahului. Ia kuatir terserempet, atau bakul dagangnya tersenggol, lalu tumpah. Bila tumpah maka kuenya akan kotor, bahkan rusak. Dengan begitu kuenya tidak lagi bisa dijual. Kerugian pun tak terhindarkan jadinya. Dan, mbok Yah mesti mengalah dengan situasi padat kendaraan ini. Padahal jembatan ini tiap hari dilaluinya untuk menuju lokasi di dekat sekolah di mana ia biasa menjual.
Setengah jam berdiri di pojok membuat gemetar dirinya. Kakinya terasa tidak kuat lagi menjejak tanah. Nafasnya pun dirasakan pagi ini terasa sangat berat. Ia sendiri, tak ada orang, kecuali kendaraan. Kendaraan lalu lalang tidak peduli padanya. Mereka juga sedang mengejar nasibnya untuk pagi, dan seharian ini. Mbok Yah mengerti situasi demikian.
Jembatan sepanjang 15 meter itu mestinya bisa dilalui dengan 30 langkah. Mbok Yah setidaknya dalam sekian menit sudah di ujung jalan bagian selatan sana, lalu berbelok ke kanan, dan menyusuri jalan kecil mirip gang, kemudian tiba di tujuan. 15 menit biasanya. Tapi setengah jam berada di sini artinya ia sudah lewati juga 15 menit yang seharusnya berada di lokasi.Â
Apa mau dikata, ibu-ibu yang mengantar anaknya yang kelas satu di sekolah itu tidak bisa lagi membeli. Atau bahkan membekali anak-anaknya untuk sarapan, atau bekal kudapan waktu istirahat mereka. Mbok Yah merasa bersalah. Sebab hari kemarin itu, sudah beberapa orang yang pesan kuenya. Dan, mbok Yah pun memastikan hal itu. Namun kenyataannya tidak. Ia merasa mereka sudah pasti kecewa.
Ia sesaat berpikir untuk kembali saja ke rumah. Tapi diurungkan, sebab tidak ada lagi orang di rumah pada pagi ini. Dan, memang tidak ada orang selain dirinya. Ia sendiri, sejak suaminya wafat satu tahun lalu. Sementara dua orang perempuan anaknya dibawa suami mereka ke luar Jawa. Mengadu nasib di tanah sana.Â
Tidak ada kabar pula dari mereka, bahkan bapaknya yang wafat pun, anak-anak itu tidak tahu. Padahal alamat rumah masih jelas, setidaknya mbok Yah berharap ada surat sekadar untuk memberi kabar agar ia tenang, dan mengetahui keadaan anak-anaknya. Tapi entah, mereka tidak melakukan itu.
Di tengah berpikir itu, ia arahkan matanya ke sebuah bale tak jauh dari ia berdiri. Ia pun beranjak meninggalkan pojok jembatan ini menuju bale yang mirip pos ronda. Langkahnya tertatih meniti jalan tanah yang rada bergelombang, dan menurun. Di sisi kirinya saluran air kecil beriak mengalir menyapa langkah kecil mbok Yah. Suara deru kendaraan mulai terdengar mengiringi langkahnya. Dan di bale ini pun ia sampai.
Suasana rada sepi dari keriuhan. Hanya angin pagi terasa pelan meniup lembut dirinya. Bakul kue basah itu kemudian ia letakkan di sisinya, dijaga rapat. Di sini barangkali ada orang lewat yang mau menyapa, atau bahkan membeli, ia sangat berharap itu. Berharap hari ini tidak tersisa dagangannya, seperti hari-hari kemarin.
Mbok Yah sudah sepuh. 72 tahun usianya, dan tak ada lagi kerabat, apalagi saudara kandung. Ia melakukan usahanya ini sejak ditinggalkan suaminya. Baru satu tahun berjualan, dan tidak memiliki pengalaman. Padahal selagi muda, ia seorang penjahit untuk busana perempuan, dan banyak pelanggannya. Pun ketika bersama suami, dan dua anaknya, ia hidup cukup ketika itu. Namun naas, di usia masa tuanya simpanannya itu semua habis oleh hutang dagang suaminya, atau untuk bekal anak-anaknya mengadu nasib. Cuma rumah yang tersisa dan sedikit perabotan rumah tangga.
Ia membayangkan semua peristiwa itu. Tapi justru yang terbayang kuat soal rasa bersalahnya terhadap orang yang sudah pesan kuenya tapi tidak terpenuhi. Â Padahal ia berencana jika habis hari ini, maka ia akan membawa lebih untuk esoknya. Jika ada yang membeli satu, maka digratiskan satu atau juga sekadar memberi gratis kuenya pada Mini. Sebab Mini hanya seminggu sekali membeli kue darinya, dan itu juga hanya getuk.
Mini, anak perempuan kelas tiga di SD itu selalu membuatnya tersenyum, dan bahagia. Hebatnya Mini juga menjual kudapan. Ia menjual sebelum bel sekolah tanda masuk berbunyi, atau seusai sekolah hingga pukul tiga sore. Tiap hari selama satu tahun mbok Yah ditemani Mini. Sebagai sesama penjual mbok Yah ingin sekali memberi tiap hari padanya.Â
Tetapi selalu ditolak. Mini bilang nenek tidak usah melakukannya. Mini akan membeli saja kue nenek walau seminggu sekali. Berulang kali Mini mengatakan dan meyakinkan mbok Yah, dan memang ia tunaikan ucapannya selama satu tahun itu. Mini menjadikan energi mbok Yah kian bertambah. Pernah ia tanyakan hal itu, kenapa selama satu tahun membeli getuknya. Mini jawab, karena enak, dan juga tidak bosan, dan uang untuk membeli itu dari simpanannya yang diberikan orang tuanya dari sedikit untung yang diperoleh.
"Disimpan di celengan nek, tapi untuk yang buat getuk disiapkan saja di bawah bantal."
"Kok bisa?"
"Iya, setiap diberi 5 ribu, seribu disimpan di bawah bantal. Yang empat ribu masuk celengan, dan di sekolah tidak usah jajan, kan jualan."
"Terus kenapa jualan?"
"Ingin saja. Padahal ibu melarang tapi saya memaksa. Saya bilang mau belajar."
"Kan di sekolah juga belajar?"
"Iya, tapi saya mau praktek langsung, nek. Ibu yang buat pisang goreng, ubi rebus atau singkong itu. Nah makanan ini yang saya jual. Nenek kan juga lihat. Murah dan meriah.Lagian tidak banyak cuma masing-masing lima buah. Satu buahnya 2000 saja. Tidak laku juga tidak apa-apa. "
"Kapan mulai jualannya?"
"Seminggu setelah melihat nenek di dekat sekolah."
Mbok Yah tersenyum mengingat pertemuannya dengan Mini setahun lalu sembari bersandar pada bale yang sudah reot, dan penuh tambalan di dindingnya. Namun terasa masih lumayan enak untuk meluruskan tubuh rentanya itu. Ia pun berbaring lemah di situ sembari memejamkan mata dengan tenang.Â
Namun dalam hitungan detik berikutnya tiba-tiba bunyi nafasnya tersedak cepat. Orang berkerumun kemudian. Sayup-sayup mbok Yah mendengar lirih suara Mini memanggilnya berulang-ulang. Â Gelap datang seketika seolah cahaya matahari pagi enggan menerobos lorong kehidupan nenek tua ini selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H