Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Remason di Ujung Hidung Bang Zaid

7 Mei 2020   03:54 Diperbarui: 14 Mei 2020   17:07 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tiga kali bolak balik di sekitar pasar tanah abang, bajaj Zaid belum juga ada sewa. Padahal  ia sudah wanti-wanti, jika dapat satu sewa saja ia bakal pulang. Sebab sore nanti ada pembagian jatah sembako dari RT buat warganya. 

Karena panas terik yang rada menyengat ia arahkan kemudi menuju pohon sengon yang lebat di sisi jalan yang di sebelahnya kali selebar lima meter. Zaid hentikan bajajnya di sini. Ngadem, buat sebentar.  Tinimbang muterin jalan yang belum tentu ada hasil, lebih bagus istirahat. Apalagi sahur semalam ia cuma kebagian sedikit, karena istri dan anaknya menjadi prioritas.

Bulan puasa kali ini dirasakan Zaid sekeluarga luar biasa berat. Bukan soal puasanya, tapi wabah corona yang sudah dua bulan lebih belum kelar-kelar. Ini yang bikin nyali Zaid ketar ketir, kuatir tidak bisa kasih asupan gizi buat istri, dan anaknya. 

Sementara itu Pariyem yang punya warung Tegal, tetangga Zaid nasibnya  juga sama. Langganan yang biasa mampir pas azan maghrib, mulai banyak yang tidak datang.  

Tahun lalu, waktu berbuka puasa itu seringkali warungnya jadi tempat kumpul tukang ojek, tukang air pikulan, juga pekerja konveksi yang kos di dekat rumahnya.  Setidaknya benefit usahanya cukup lumayan untuk mudik, sekaligus pulang kampong.

Tapi sekarang dirasakannya sebagai  ujian yang sangat berat.  Usaha kendor, mudik juga dilarang. Untungnya Karim selalu setia menemani dan menjadi tempat curhatnya. M

eski kadang Pariyem kesal juga pada Karim yang sudah dua kali lebaran lewat belum juga ada tanda-tanda mau melamarnya. Kalau ditanya, alasannya selalu tunggu waktu yang pas supaya saat bulan madu tidak akan lama punya keturunan.

 Jawaban Karim semacam ini justru direspon positif Pariyem, Pariyem malah sering melamun, kelak kalau punya keturunan, anak-anaknya itu bakal montok dan sehat. Seperti dirinya yang gemuk, dan Karim yang tambun.

Kegelisahan Zaid, Pariyem, Karim tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan Salman, Haji Mukti, Salim, Koh Acung, dan tetangga lain di sekitar lingkungan mereka tinggal. Situasi bulan puasa di tengah wabah COVID menjadikan Haji Mukti memutar otak dan strategi supaya tetangga yang dianggap kurang mampu ini bisa survive di keluarga mereka. Karenanya bantuan sembako dari Pemda DKI bagi mereka yang sudah terdata sekaligus yang berhak menerima bisa meringankan sedikit beban warga.

Haji Mukti wajar berpikir keras, sebab belum ada tanda-tanda wabah ini akan hilang, dan keadaan bisa cepat normal kembali. Bantuan sembako itu pikirnya akan cukup buat satu minggu saja. Ini prediksi yang matang dikalkulasi. Sebagai tokoh masyarakat, ia kerap melakukan kordinasi dan upaya, terutama dengan Koh Acung, agar tetangga mereka yang seperti saudara ini bisa aman dan bertahan di masa yang anggapnya genting ini.

Seperti siang ini, usai sholat zuhur, Haji Mukti bertandang ke rumah Koh Acung ditemani ketua RT. Rumah yang berarsitektur betawi tempo dulu dengan halaman cukup luas, dan terbuka menjadikan pertemuan mereka santai namun serius. Koh Acung dipandang tokoh juga, selain mapan secara ekonomi, ia juga adalah generasi kelima yang tinggal di wilayah ini. Jadi warga tidak ragu lagi dengan  keluarga keturunan ini yang konon buyutnya itu Laksamana Cheng Ho.

Kata pak RT, sore nanti bada Ashar sudah dipastikan sembako bakal diberikan pada warga sesuai data yang ada di arsipnya. Dari jumlah Kepala Keluarga sekitar 35, yang patut menerima ada 20. Dan kebetulan sekali jumlah bantuannya sesuai. Jadi setidaknya tidak repot lagi untuk menambal yang kurang.

"Bantuan sudah saya terima Koh tadi pagi. Jumlahnya 20, dan pak Haji juga sudah melongoknya,"ucap pak RT.

"Iya, betul Koh, Alhamdulillah. Cuma saya pribadi masih rada deg-degan juga soalnya bantuan ini kan belum bisa mengcover berapa lamanya wabah ini selesai.  Kebanyakan dari yang menerima bantuan kan pekerja harian rata-rata, kayak model si Zaid, Salman, Salim, dan yang lainnya. Kalau Karim, juga Pariyem mungkin sedikit bisa bernafas, sebab mereka kan punya usaha, meski kelihatannya nyungsep juga,"ungkap Haji Mukti menambahkan.

"Itu yang jadi pikiran saya juga,"timpal Koh Acung.  Sembari mengusulkan agar warga yang tidak termasuk penerima bantuan bisa diminta urun rembug dengan membantu ala kadarnya, semisal bahan mentah atau uang, serelanya.

"Yang 15 KK itu maksudnya, Koh?Tanya pak RT.

"Iya betul Te.Gimana pak Haji?"

"Setuju, Koh, nanti diatur aja gimana baiknya,"balas Haji Mukti sepakat.

****

Dari tikungan jalan di sekitar Tanah Abang yang sepi kendaraan itu, Salman melihat bajaj dengan tulisan di belakangnya "CARI UANG SUPAYA JADI JUTAWAN", Salman segera mendekati.

"Tak salah, itu pasti bajaj bang Zaid,"pikirnya.

Ia pun menghentikan motornya di dekat bajaj itu, dan melangkah pelan, mindik-mindik. Di tempat yang sejuk seperti ini Salman sudah mengerti, tetangganya ini pasti sedang molor kelelahan. Benar saja, pas ditengoknya Zaid sedang meringkuk di kursi belakang, serta mulut yang menganga, tanda lelap, meski dengkurnya tidak terdengar, dan maskernya juga diturunkan. Salman perkirakan tidurnya ini lebih dari dua jam sebab itu ia merogoh dari jaket ojolnya minyak remason yang biasa ia bawa.

Salman pun mengoles remason itu ke ujung jari telunjuknya, dan pelan-pelan dijulurkan ke hidung Zaid untuk diolesi. Zaid masih tidak sadar. Sembari tersenyum menahan tawa ia  menunggu reaksi tetangga dan sahabatnya itu setelah minyak remason itu bekerja secara kimiawi. Salman ada di belakang bajajnya.

Benar saja tak sampai hitungan menit, Zaid seperti ada yang menyiram hidungnya dengan air panas. Ia usap-usap hidung itu, bangkit dan tengok kanan kiri. Tidak terlihat siapa pun. Ia pun kemudian turun, dan melihat di belakang bajajnya Salman terkekeh-kekeh, puas.

"Ah sialan lu, Man. Gue udah mau pentung aje tadi,"umpat Zaid seraya mengeplak kepala Salman pelan yang masih tertawa itu.

"Lagian bukannya narik malah molor."

"Capek gue. Sama sekali belum dapet sewa ini hari. Bener-bener musibah gue nih Man. Lu gimana ada anteran barang hari ini?

"Alhamdulillah bang, dapet enem gue."

"Alhamdulillah, syukur deh. Ini terus mau kemane?"

"Baliklah, bang. Udah mau ashar. Kan ntar sore ada pembagian sembako."

"O iye, hamper lupa gue, padahal emang udah niat sedari narik tadi dapet satu sewa aje mendingan gue balik. Payah ini udah sih wabah corolla, puasa juga. Duh!

"Corona, bang."

"Iye itu, terserah deh. Ayo kita balik,"ajak Zaid.

Sebelum jalan Salman kembali merogoh kantong jaketnya, tapi bukan remason lagi, tapi selembar uang lima puluh ribu yang ia sodorkan ke Zaid yang sudah menstarter bajajnya.

"Apaan nih, gile limapuluh ribu. Buat gue?"Tanya Zaid pura-pura kaget  sembari cepat merebutnya yang sudah dipahami Salman.

"Alhamdulillah, buat abang,"sahut Salman tertawa.

"Alhamdulillah, moga berkah hidup lo, Man!"timpalnya terus saja ngeloyor meninggalkan Salman yang juga mengikuti dari belakang.

***

Sore Itu juga, satu-satu warga mendatangi rumah pak RT untuk menerima pembagian sembako. Warga tidak berkumpul tapi dipanggil oleh Zaid dengan menggunakan Toa sembari mengingatkan untuk tetap menjaga jarak. Sementara pak RT mencontreng nama-nama yang sudah menerima haknya. Tidak lama waktu yang dibutuhkan, jelang maghrib semua tuntas dilaksanakan. Dan, mereka pun kembali ke rumah masing-masing untuk berbuka puasa.

Sementara di rumah pak RT ada kejanggalan, sembako tersisa satu kardus. Pak RT kemudian  melihat catatan yang sudah dicontrengnya. Dari sekian nama rupanya Zaid belum dicontreng dan menerimanya, tadi ia sibuk memanggil warga dengan ajakan social distancingnya itu dengan mimik khasnya. Pak RT pun tersenyum membayangkan paniknya  Zaid di rumah.  Ia pun tenang saja, dan didiamkannya kardus itu di ruang tamu.

Di rumah kontrakan Zaid, istrinya diam saja dan cendrung merengut tak banyak bicara. Zaid justru tidak merasakan keanehan dari istrinya itu. Yang ada dipikiran Zaid soal uang yang diterima dari Salman telah membuatnya senang, dan diberikannya uang itu pada istrinya. Ia berharap istrinya tidak merengut lagi setelah uang itu diserahkan. Tapi rupanya gagal. Zaid pun heran tidak biasanya istrinya menjadi pendiam dan bolak balik ke dapur untuk cuci piring.

Sesaat ia diamkan, dan segera sholat maghrib. Usai itu ia membuka perbincangan,"maklumlah, namanya juga ada si covid jadi hari ini gak ada sewa. Itu juga uang dari Salman, Alhamdulillah. Paling gak buat besok udah sedikit aman,"kata Zaid menenangkan.

"Alhamdulillah, bang. Temen-temen abang emang pada baek. Tapi bukan itu masalahnya. Kenapa yang lain terima sembako tapi kita malah enggak. Sedih juga bang saya, kayak enggak diperhatiin sama RT."

Mendengar itu Zaid sontak kaget, ia bisa sampai lupa soal sembako padahal sejak siang tadi sudah menyiapkan diri untuk menerimah haknya.

"Astagfirullah. Lupa gue!"balas Zaid bangkit dari kursi dan segera melangkah keluar menuju kediaman RT, seraya mengingatkan istrinya untuk tidak salah sangka dengan RTnya.

Di rumah RT, setelah Zaid dipersilakan masuk, dan duduk di ruang tamu justru RT tertawa melihat raut panik di wajah Zaid. Zaid jadi mesem-mesem setelah mendengar penjelasan RT yang menunjuk jarinya ke kardus di sisi ruang tamu yang dilihat Zaid.

"Itu punya ente, bang. Dan, ini bawa juga martabak telor kesukaan lo. Lumayan buat buka bareng keluarga,"kata pak RT tertawa.

Zaid juga tertawa akhirnya, dan pamit pulang membawa sembako bantuan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun