“Ini mushola kok gelap begini. Gak pada sadar apa semua warga. Kalo udah mau maghrib coba sebentar aja ke sini, yang rumahnya dekat nyalain lampu kek,”kata Haji Mukti rada sewot.
Zaid yang mendengar cuma diam, sementara yang lain matanya mengarah ke Zaid, seolah bilang di hatinya,”payah lu!”
Sampai di pintu mushola, di dalam memang gelap. Zaid langsung mendahului masuk, mencari saklar, tapi ia malah tersandung kakinya oleh sesuatu, dan menimpa tubuh Slamet yang terkapar lemas, mengaduh.
“Aduh, siapa ini yang tindih saya,”lirih Slamet.
“Astagfirullahhaladzim !,”sahut Zaid keras, dan setengah kaget.
“Ente Slamet nih!?
“Iya, saya bang,
Jemaah yang lain di muka pintu, yang tengah menunggu, termasuk Haji Mukti juga terkejut mendengar suara gaduh barusan. Mereka memburu masuk berbarengan ingin tahu apa yang terjadi. Tapi karena gelap, dan semua serentak masuk, sementara mushola ukurannya mungil, hanya 4x6 m, jadi yang ada cuma saling dorong, dan pegang tangan saja.
Karim tidak sengaja mendorong Salman, Salman pegang tangan Zuki, Zuki injak kaki Untung, Untung tidak jelas pegang siapa. Sebab mata mereka semua kabur, Yang dilihat mereka akhirnya cuma jubah Untung yang putih polos menjurai. Jadilah Untung dipegangi jubahnya, termasuk oleh Haji Mukti.
“Woiii, kenape jubah gue yang elu pegangin pade,”teriak Untung persis di telinga Haji Mukti.
“Ente kurang ajar, Tung,”sahut Haji Mukti menepuk pipinya Untung rada keras.