Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Wajah Seribu Topeng

12 Juni 2016   23:46 Diperbarui: 5 Maret 2020   20:14 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu sungguh terasa dingin di sekitar panggung pertunjukkan tari. Udara demikian selalu menyelimuti seputar area ini. Sebab tak jauh dari sini berdiri kokoh gunung Ciremai. Gunung yang sering didaki petualang dari berbagai kota.

Tapi gunung tak terlihat, hanya sorot lampu yang berpendar di sekitarnya. Badri tengah berdiri bimbang di antara meja, dan kursi melingkar yang tertata apik. Kebanyakan yang duduk di sini orang kaya. Tandanya bisa diketahui oleh Badri. Mereka yang laki pakai jas, dan perempuannya, pakai gaun malam aneka rupa. Apalagi aroma parfum yang menebar di ruangan besar ini juga menggoda hidungnya.

Semula ia ragu dekati panggung. Di sini  kendaraan mewah dalam jumlah banyak berjajar di area parker. Bus-bus besar yang bagus juga ada empat buah, sedangkan motor tidak ada sama sekali, hanya sepeda onthel miliknya yang di rantai di badan pohon pinus. Bahkan keraguannya itu bertambah, pertunjukan itu mendapat liputan media massa, cetak dan elektronik. Sejumlah wartawan hilir mudik mengambil gambar meski acara belum di mulai.

“Acara ini tidak seperti yang biasa saya tonton,”bisik Badri pelan seraya menoleh kiri kanan.

Kabar adanya festival tari topeng di lokasi wisata ini memang sudah didengar Badri seminggu lalu. Hanya saja tari topeng yang biasa ia datangi untuk dilihat, lebih banyak ada di kampung-kampung. Itu pun dengan panggung sederhana yang diadakan untuk acara kawinan ataupun sunatan.

Bahkan seingat Badri, dulu tari topeng juga diadakan oleh banyak partai yang punya massa di tiap kampung. Dan, tari topeng cuma dimainkan oleh satu orang penari perempuan yang diringi dengan gendang, trompet serta gong. Bermacam topeng acapkali ditampilkan, menutupi wajahnya, dan penonton sudah pasti terhibur.

Malahan bila topeng yang satu selesai lakonnya, kemudian diganti dengan topeng lain, penonton selalu memberikan uang. Uang itu diselipkan di antara buah dada penari secara langsung, dan tidak malu-malu. Badri, meski pun masih belia juga turut menyelipkan uang logam ke arah penari itu. Penari yang di mata Badri cantik dan gerakannya aduhai ketika itu, namanya Nenden.

Nenden, usianya dulu 17 tahun, 5 tahun lebih tua dari Badri yang berumur 12. Tapi penari itu melekat kuat di benaknya hingga sekarang. Padahal hanya satu, dua kali ia sempat melihat dia di kampungnya, atau juga di kampung sebelah. Karena Nenden dan kelompoknya berasal dari pantai utara, Cirebon. Barang tentu hiburan keliling itu tak begitu saja dilupakan.

Sebab itu festival tari topeng di lokasi wisata Sangkan Hurip-Kuningan ini, ia datangi. Sekadar mencari tahu penari pujaan di zamannya itu. Pikirnya, tarian yang sudah lama hilang, dan tidak pernah tampil lagi, malam ini akan diikuti juga oleh Nenden. Kendati begitu, Badri sudah tahu, jika Nenden muncul maka ia tidak secantik dulu. Malah keriput dan tua seperti dirinya.

***

Di tengah keraguan ada di tempat yang dirasanya mewah, Badri mencoba mencari kursi yang bisa diduduki.  Tapi tiada yang tersisa untuknya. Dia terus mencari, dan mendekat ke tiap sudut di ruangan yang luas ini. Namun bukannya didapat, justru gerak-geriknya mendapat perhatian petugas di area itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun