Sebentar lagi bulan ramadhan, bulan suci umat Islam. Bulan di mana penuh berkah dan ampunan bagi yang menjalankannya dengan penuh keikhlasan. Termasuk kami, saya dan istri tercinta. Istriku amat bahagia jika bulan suci ini tiba. Ia selain getol ibadahnya juga senang makanan khas Jawa, yakni Gudeg.
Gudeg baginya di bulan puasa seperti ritual yang tidak bisa diremehkan. Boleh dibilang tanpa gudeg, puasanya seolah hambar. Aku memakluminya. Entah darimana kebiasaannya ini muncul aku tidak pernah sekalipun menanyakan. Hanya turut senang saja ada kesukaan istriku yang tiap tahun mesti ditunaikan.
Tapi jangan salah. Ia hanya membeli gudeg saat awal sahur jelang hari pertama puasa saja. Selebihnya atau hari berikutnya hanya makanan biasa, baik untuk berbuka puasa maupun sahur.
Istimewanya gudeg harus dibeli di salah satu pedagang dengan gerobak dorong yang di bulan puasa juga jualnya. Padahal di Jakarta, yang jual makanan ini terlampau banyak untuk dijumpai. Tapi ia menolak. Dan, pedagang ini biasa mangkal di salah satu sudut mesjid di antara pedagang makanan lainnya.
“Nanti sore antar beli gudeg ya mas. Buat sahur,”pintanya jelang hari pertama puasa di saat tahun pertama berumahtangga.
“Beli di mana?Jawabku setengah malas.
“Kita cari aja. Barangkali ada di sekitar mesjid Akbar. Di sana kan ramai yang dagang kalau mau puasa.”
“Ya, kan buat sahur tidak harus makan gudeg. Yang lain juga bisa.
“Sekali-kali mas. Lagipula tidak tiap hari kita bakal makan gudeg buat sahur.
Tinimbang berdebat soal gudeg, akhirnya akupun mengiakan, dan sore itu meluncur bersamanya ke tujuan. Putar sana, putar sini akhirnya ketemu yang jual makanan itu.
“Nah itu mas, Sepertinya jual gudeg,”jarinya menunjuk ke salah satu gerobak dorong dari sekian gerobak dorong yang berderet di sisi trotoar dekat mesjid.
Aku menahan laju motor, dan menepi ke arah pedagang itu. Istriku sigap turun, dan langsung menghampirinya.
“Jual gudeg ya bang,”katanya tersenyum pada penjual itu.
“Iya bu.
“Mau dong. Bungkus dua ya bang buat sahur.”
Sambil melayani, pedagang itu mau juga diajak bicara perihal gudeg. Aku tidak terlalu mendengarkan perbincangan mereka. Hanya saja pedagang itu sempat mengutarakan. Jual gudeg untuk tambahan mudik pulang kampung. Dan, jualnya juga pas bulan puasa saja.
"Saya jualnya pas bulan puasa saja, buat tambahan mudik, pak,"katanya terkekeh.
Singkat cerita, sejak itu gudeg gerobak dorong jadi langganannya di awal puasa, dan pedagang itu juga maklum padanya yang hanya membeli satu kali itu saja di tiap bulan puasa. Tapi enam kali puasa, dan enam kali pertemuan selama enam tahun itu tidak ada yang berubah. Posisi pedagang tetap di dekat mesjid, dan istimewanya masih saling mengenali satu sama lain.
Kata istriku, rasa gudegnya enak, dan pedagangnya melayani dengan hati. Saat pertama ketemu, dan membeli sudah yakin rasanya pasti enak. Dan, ternyata benar. Ia selalu berbinar matanya kalau bicara gudeg, tapi rada redup jika bicara perihal dinas dari kantornya.
“Gudegnya itu enak, kan mas?
“Iya lumayan.
“Ini mau puasa lagi. Dihitung-hitung sudah lima kali kita beli sama pedagang itu. Aku ingat, waktu pertama cari yang jual gudeg, mas tuh kurang semangat. Kata mas, kan sahur tidak mesti dengan gudek, bisa dengan yang lain. Tapi akhirnya mas mau juga setelah ketemu yang jual dan rasanya enak pula.
“Jadi ada rencana mau ke sana lagi untuk beli buat sahur.”
“Iya pastinya. Mudah-mudahan tiap puasa pedagang itu masih jual ya mas. Aku ingin kita tetap seperti ini di awal puasa, sahur dengan gudeg. Dan, beli sama pedagang itu. Kayaknya makan sahur dengan gudeg beda dengan makan gudeg di hari biasa.
“Beda di mananya?
“Entahlah, beda aja.”
“Bukannya sama aja. Gudek itu ya ada kreceknya, ada telur, dan macam-macam. Atau mungkin suasana bulan ramadhan itu yang dirasakan beda.
“Ya mungkin juga suasana puasa kali ya mas, “jawabnya suatu ketika di puasa tahun keenam pernikahan kami.
Dan, di puasa tahun keenam itu pula menjadi ramadhan terakhir baginya. Ramadhan yang senantiasa ia isi dengan ibadah yang menjadi kewajibannya, serta diselingi makanan kesukaannya, gudeg. Yang tentu ia hanya beli satu kali di saat sahur pertama saja.
Namun jelang ramadhan tahun ini, ia, istriku tengah berada di sisi Sang Maha Pencipta. Sang Maha Agung yang telah memutuskan semua rencana manusia untuk bisa menemui ramadhan atau tidak., Dan istriku telah dipilihnya untuk tidak bersamaku jelang ramadhan tahun ini.
Aku menulis mengenangkan, dan airmata pun menetes perlahan di tengah malam ini, seraya memohon, “Ya Allah ya Rob, terimalah amal ibadah, dan segala kebaikan istriku selama hidup. Berilah tempat yang terbaik di sisiMu. Aamiin ya Robbal alamin.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H