“Jadi ada rencana mau ke sana lagi untuk beli buat sahur.”
“Iya pastinya. Mudah-mudahan tiap puasa pedagang itu masih jual ya mas. Aku ingin kita tetap seperti ini di awal puasa, sahur dengan gudeg. Dan, beli sama pedagang itu. Kayaknya makan sahur dengan gudeg beda dengan makan gudeg di hari biasa.
“Beda di mananya?
“Entahlah, beda aja.”
“Bukannya sama aja. Gudek itu ya ada kreceknya, ada telur, dan macam-macam. Atau mungkin suasana bulan ramadhan itu yang dirasakan beda.
“Ya mungkin juga suasana puasa kali ya mas, “jawabnya suatu ketika di puasa tahun keenam pernikahan kami.
Dan, di puasa tahun keenam itu pula menjadi ramadhan terakhir baginya. Ramadhan yang senantiasa ia isi dengan ibadah yang menjadi kewajibannya, serta diselingi makanan kesukaannya, gudeg. Yang tentu ia hanya beli satu kali di saat sahur pertama saja.
Namun jelang ramadhan tahun ini, ia, istriku tengah berada di sisi Sang Maha Pencipta. Sang Maha Agung yang telah memutuskan semua rencana manusia untuk bisa menemui ramadhan atau tidak., Dan istriku telah dipilihnya untuk tidak bersamaku jelang ramadhan tahun ini.
Aku menulis mengenangkan, dan airmata pun menetes perlahan di tengah malam ini, seraya memohon, “Ya Allah ya Rob, terimalah amal ibadah, dan segala kebaikan istriku selama hidup. Berilah tempat yang terbaik di sisiMu. Aamiin ya Robbal alamin.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H