Aku menahan laju motor, dan menepi ke arah pedagang itu. Istriku sigap turun, dan langsung menghampirinya.
“Jual gudeg ya bang,”katanya tersenyum pada penjual itu.
“Iya bu.
“Mau dong. Bungkus dua ya bang buat sahur.”
Sambil melayani, pedagang itu mau juga diajak bicara perihal gudeg. Aku tidak terlalu mendengarkan perbincangan mereka. Hanya saja pedagang itu sempat mengutarakan. Jual gudeg untuk tambahan mudik pulang kampung. Dan, jualnya juga pas bulan puasa saja.
"Saya jualnya pas bulan puasa saja, buat tambahan mudik, pak,"katanya terkekeh.
Singkat cerita, sejak itu gudeg gerobak dorong jadi langganannya di awal puasa, dan pedagang itu juga maklum padanya yang hanya membeli satu kali itu saja di tiap bulan puasa. Tapi enam kali puasa, dan enam kali pertemuan selama enam tahun itu tidak ada yang berubah. Posisi pedagang tetap di dekat mesjid, dan istimewanya masih saling mengenali satu sama lain.
Kata istriku, rasa gudegnya enak, dan pedagangnya melayani dengan hati. Saat pertama ketemu, dan membeli sudah yakin rasanya pasti enak. Dan, ternyata benar. Ia selalu berbinar matanya kalau bicara gudeg, tapi rada redup jika bicara perihal dinas dari kantornya.
“Gudegnya itu enak, kan mas?
“Iya lumayan.
“Ini mau puasa lagi. Dihitung-hitung sudah lima kali kita beli sama pedagang itu. Aku ingat, waktu pertama cari yang jual gudeg, mas tuh kurang semangat. Kata mas, kan sahur tidak mesti dengan gudek, bisa dengan yang lain. Tapi akhirnya mas mau juga setelah ketemu yang jual dan rasanya enak pula.