Mohon tunggu...
Erson Bani
Erson Bani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023) & "Melayat Mimpi" (2023)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Iman dan Keluarga dalam Ensiklik Lumen Gentium

14 Februari 2023   14:22 Diperbarui: 14 Februari 2023   14:41 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Lumen-fidei.org

Lumen Fidei merupakan salah satu ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransisikus pada tahun 2013. Ensiklik ini diberikan kepada para Uskup, Iman dan Diakon, Biarawan dan Biarawati, serta kaum awam tentang terang iman. Mengapa harus diterbitkan ensiklik ini? Menurut Paus Fransiskus dikatakan bahwa Lumen Fidei adalah tradisi gereja yang berbicara mengenai karunia besar yang dibawa oleh Yesus. Karunia seperti apakah yang dibawa oleh Yesus? Paus merujuk kepada beberapa tokoh dalam Kitab Suci yang menyinggung mengenai hal ini. Dalam Injil Yohanes, Kristus berkata tentang dirinya sendiri, "Aku telah datang ke dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang datang kepada-Ku jangan tinggal dalam kegelapan" (Yoh 12:46)[1]. Tokoh lainnya yakni St. Paulus dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus. Ia mengatakan bahwa sebab Allah telah berfirman, "Dari dalam gelap akan terbit terang, Ia juga membuat terang-Nya bercahaya dalam hati kita (2 Kor 4:6).

Ketika kita berbicara mengenai terang, berarti ada sesuatu yang masih samar-samar atau bahkan masih gelap sama sekali. Ketika berada dalam situasi gelap seseorang pasti akan merindukan cahaya atau terang. Paus Fransiskus sangat menyadari bahwa perjalanan iman tidak dibebaskan dari saat-saat kegelapan, kekeringan dan kesulitan. Iman bisa rapuh.

Pope Francis is well aware that the faith journey is not exempt from moments of darkness, dryness, and difficulties. Faith can be fragile[2].

Cahaya yang dimaksudkan Paus laksana matahari yang bersinar seperti yang dikatakan oleh St. Yustinus Martir yang adalah salah seorang bapa-bapa gereja awal yang mati demi kepercayaannya kepada Matahari atau kebenaran sejati. Dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Yustinus Martir ini sudah dipengaruhi oleh Filsafat Platon yang mengatakan bahwa kebaikan tertinggi adalah ketika seseorang berhasil keluar dari dalam gua dan melihat matahari yang kini diyakini sebagai Sang Kebenaran.

Ada beberapa hal yang dibahas dalam ensiklik ini. Pertama, kita beriman dalam kasih. Kedua, jika kamu tidak percaya kamu tidak akan mengerti (iman dan akal budi). Ketiga, kusampaikan kepadamu apa yang kuterima sendiri (persatuan iman dan Gereja). Keempat iman dan keluarga.

 

Kita Beriman di Dalam Kasih

Dalam pembahasan mengenai beriman di dalam kasih, ada beberapa hal yang disinggung yakni tentang iman Abraham, iman bangsa Israel, iman Kristiani, keselamatan karena iman dan bentuk gerejawi iman. Berbicara tentang iman, kita tidak dapat melepaskan diri dari iman yang ditunjukan oleh Abraham. Iman Abraham tidak semata-mata diakui oleh agama Kristen tetapi juga oleh agama-agama lain (Abrahamik: Islam, Yahudi dan Kristen). Abraham adalah contoh bagaimana beriman pada Allah. Ia hanya mendengarkan Firman tetapi ia percaya dan melakukannya. Allah yang memanggilnya bukanlah Tuhan yang asing melainkan Allah yang asal mula dan penopang dari semua yang ada[3].

 Iman yang telah ditunjukan oleh Abraham terus berlanjut dalam sejarah bangsa Israel. Bangsa Isreal percaya bahwa suatu saat Allah akan datang untuk menyelamatkan mereka dari pembuangan di Mesir. Perjalanan bangsa Israel tidak hanya mengikuti iman yang diterima oleh Abraham. Ketika dalam perjalanan melewati padang gurun, iman mereka dicobai dan mereka pernah jatuh karena godaan penyembahan berhala. Dalam situasi seperti itu Allah hadir dan menegur mereka dan memberikan pengampunan. Beriman berarti mempercayakan diri pada kasih yang rahim yang selalu mau menerima dan mengampuni, yang mendukung dan mengarahkan hidup kita dan yang menunjukan kuasanya untuk menunjukan keruwetan dalam hidup kita[4]. 

 

Iman Kristiani berpusat pada Kristus yakni dengan mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati. Kepenuhan iman terwujud dalam diri-Nya. Kita dapat melihatnya dalam diri Yesus yang telah mengorbankan diri dan wafat di kayu salib demi menyelamatkan umat manusia. Dalam merenungkan pengorbanan Kristus iman tumbuh lebih kuat dan menerima terang yang mencerahkan, lalu iman itu diungkapkan sebagai kasih Kristus kepada kita dan demi menyelamatkan kita[5]. Beriman kepada Yesus sebagai kepenuhan iman kita bukan hanya percaya kepada-Nya tetapi juga melihat segala sesuatu menurut cara pandang Yesus. Iman Kristiani adalah iman kepada Firman yang telah menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus yang dikandung oleh Perawan Maria yang masuk dalam sejarah manusia.

 

Setelah berbicara mengenai iman yang berawal dari Abraham hingga mengalami kepenuhan dalam diri Yesus, pada bagian berikutnya akan berbicara mengenai keselamatan. Siapa yang akan selamat adalah pertanyaan yang muncul ketika beriman kepada Allah dan percaya akan kehidupan kekal. Bapa-bapa gereja juga telah memikirkan tentang keselamatan dan bahkan ada yang mengatakan karena kasih Allah yang begitu besar sehingga semua orang akan selamat termasuk yang berada di neraka[6].

 

Iman dan Akal Budi

 

Lalu, bagaimana keselamatan menurut iman kita. Menurut Lumen Fidei, awal keselamatan adalah keterbukaan pada sesuatu yang ada sebelum kita ada. Hanya dengan bersikap terbuka dan mengakui karunia ini kita dapat diubah, mengalami keselamatan dan menghasilkan buah yang baik. Dalam perjalanan menuju keselamatan kita membutuhkan iman dan kebenaran. Iman tanpa kebenaran tidak mendatangkan keselamatan, tidak memberikan pijakan yang pasti[7]. Iman Kristiani juga tidak hanya memahami kebenaran tetapi juga melayani kepentingan umum. Melayani sama dengan berbagi kasih. Cinta kasih dan kebenaran harus berjalan bersama. Tanpa kebenaran cinta tidak mampu membangun suatu ikatan yang kuat dan tanpa kasih kebenaran menjadi dingin.

 

Iman kita juga lahir dari pendengaran dan juga penglihatan. Dalam budaya Yunani penglihatan menjadi sesuatu yang khas bagi mereka. Dalam Injil Yohanes, penglihatan menjadi bagian yang sangat penting. Ini sesuai dengan tujuan penulisan Injilnya yakni kepada orang-orang Yunani[8]. Bagi Yohanes percaya berarti mendengar dan melihat. Mendengar selalu dikaitkan dengan suara Gembala yang Baik, sebuah panggilan untuk menjadi murid-Nya. Demikian juga dengan melihat. Ketika orang-orang menyaksikan Lazarus yang dibangkitkan oleh Yesus, mereka menjadi percaya kepada-Nya (Yoh 11: 45). Dalam budaya Yunani sangat dikenal dengan pengaruh filsafat yang sangat kuat. Cara berpikir dengan menggunakan nalar atau akal budi sangat berpengaruh dalam pewartaan atau dalam beriman. Para bapa-bapa gereja awal salah satunya adalah St. Agustinus menggunakan filsafat dalam menyampaikan ajaran iman. Filsuf yang diambil pokok pemikirannya adalah Neoplatonisme yang berbicara tentang Yang Satu.

 

Iman dapat menggerakan seseorang untuk terus mencari Allah. Contoh yang dapat diambil adalah para majus yang ketika melihat bintang, mereka mengikuti arah bintang itu. Allah adalah terang yang membiarkan dirinya ditemukan oleh orang mau mencarinya dengan hati yang tulus. Ketika seseorang berusaha untuk mencari ia akan menemukan jalan. Karena iman adalah jalan dan masih ada kemungkinan untuk setiap orang untuk percaya dan terus mencari.

 

Proses pencarian iman kita akan mengantarkan kita untuk berada bersama Allah. Karena iman adalah terang yang terus menarik kita kedalam dirinya. Teologi kristiani lahir dari keinginan ini. Teologi bagi kita bukan wacana tentang Tuhan tetapi pertama-tama penerimaan dan usaha yang lebih mendalam akan firman yang disampaikan Allah bagi kita[9]. Teologi juga harus dapat melayani iman jemaat Kristiani dengan rendah hati.

 

Persatuan Iman dan Gereja

 

Iman kita saat ini mempunyai hubungan erat dengan apa yang telah dilakukan oleh para pejuang iman sebelumnya. Yang dimaksudkan adalah mereka yamg mati demi iman dan Gereja. Rumusan credo yang dimiliki sekarang mempunyai sejarah yang cukup panjang. Semuanya itu tidak terlepas dari hadirnya Gereja sebagai ibu iman kita. Iman kita juga bukanlah iman perorangan tetapi iman bersama atau komunal.

 

Faith is not simply an individual decision that takes place in the depths of the believer's heart, nor a completely private relationship between the 'I' of the believer and the divine 'Thou', between an autonomous subject and God. By its very nature, faith is open to the 'we' of the Church; it always takes place within her communion (n.39)[10].

 

Gereja sama halnya dengan keluarga dimana ia mewariskan apa yang baik kepada generasi berikutnya. Kita bersyukur karena dalam iman kita menerima warisan sakramen yang juga mengungkapkan iman kita kepada Allah. Kedua sakramen itu yakni pembaptisan dan Ekaristi. Penyampaian iman pertama dan terutama adalah dalam pembaptisan. Baptisan merupakan sesuatu yang diberikan kepada kita. Dalam pembaptisan, ada air yang adalah lambang kematian dan juga kehidupan. Dalam pembatisan harus ada kerja antara Gereja dan keluarga yang menyalurkan iman. Paus Fransiskus mempunyai pengalaman tersendiri berkaitan dengan iman. Menurutnya, keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan iman seseorang, khususnya neneknya yang mengajarkan sesuatu yang sulit ia lupakan.

 

She was a woman who explained to us, talked to us about Jesus, and taught us the Catechism. I always remember that on the evening of Good Friday, she would take us to the candlelight procession, and at the end of this procession 'the dead Christ' would arrive and our grandmother would make us the children kneel down and she would say to us: 'Look, he is dead, but tomorrow he will rise'. This was how I received my first Christian proclamation, from this very woman, from my grandmother[11].

 

Pengungkapan iman yang penting juga terdapat dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan tindakan kenangan yang menghadirkan Misteri Paskah Kristus. Dalam Ekaristi kita dapat juga dapat merenungkan betapa besar kasih Allah kepada dunia dan juga pengorbanan Yesus demi menyelamatkan umat manusia.

 

Pentingnya Perkembangan Iman dalam Keluarga

 

Inilah beberapa hal yang dibahas dalam ensiklik Lumen Fidei. Dari beberapa hal ini, ada satu hal yang sangat penting dalam membantu perkembangan iman seseorang yakni kehadiran keluarga. Seperti yang telah disebutkan bahwa keluarga menjadi tempat yang pertama dan utama dalam pengembangan iman seseorang. Pengalaman Paus Fransisikus ketika berada bersama neneknya telah memperkuat imannya ketika ia masih kecil.

 

Kehadiran keluarga sangat penting bagi perkembangan iman setiap pribadi. Maria dan Yusuf sudah menunjukan iman yang teguh kepada Yesus. Iman yang terbentuk di dalam keluarga juga terjadi dalam diri Yohanes Pembaptis di mana ayahnya adalah seorang imam Yahudi dan boleh dikatakan mempunyai iman yang kuat akan Allah. Inilah beberapa contoh pertumbuhan iman yang dimiliki di dalam keluarga seperti yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.

 

Lalu, bagaimana dengan situasi iman dalam keluarga pada zaman sekarang? Perkembagan teknologi dan cara berpikir yang rasional ternyata telah mempengaruhi perumbuhan iman dalam keluarga. Kehidupan keluarga yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai tempat bertumbuhya iman anak sudah tidak dirasakan lagi. Dalam Gravissimum Educationis dikatakan bahwa orang tua diingatkan untuk menyelenggarakan apa saja yang diperlukan supaya anak dapat memperoleh kemajuan dalam pembinaan Kristen[12]. Pertumbuhan iman yang baik dalam keluarga dapat berdampak pada kehidupan bersama. Iman juga memampukan setiap orang untuk tidak hanya menjalin relasi yang baik dengan sesamanya tetapi juga dengan alam sekitar. Iman dapat membuat seseorang bertahan dalam setiap situasi yang penuh dengan penderitaan. Inilah beberapa hal yang dibahas dalam ensiklik Lumen Fidei.

Catatan kaki

[1] Paus Fransiskus, Ensiklik Lumen Fidei, no. 1

[2] Brendan Leahy, Pope Francis in the Year of Faith, The Furrow, Vol. 64, No. 12 (December 2013), pp. 651-657, 655.

[3] Paus Fransisikus, Ensiklik Lumen Fidei, no 11

[4] Paus Fransisikus, Ensiklik Lumen Fidei, no 13

[5] Paus Fransisikus, Ensiklik Lumen Fidei, no 16

[6] Ini adalah salah satu ajaran yang diperkenalkan oleh Origenes yang adalah salah seorang dari bapa-bapa gereja yang juga berbicara mengenai keselamatan. Ajarannya ini tidak diakui oleh gereja dan gereja menggapnya sebagai bidaah.

[7] Paus Fransiskus, Ensiklik Lumen Fidei, no 24.

[8] C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta, 1984,145.

[9] Paus Fransiskus, Ensiklik Lumen Fidei, no 36

[10] Brendan Leahy, Pope Francis in the Year of Faith, 652

[11] Brendan Leahy, Pope Francis in the Year of Faith, 653

[12] Gravissimum Educationis, (28 Oktober 1965), no 7

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun