Sudah bukan rahasia lagi jika penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa. Kitab Suci Perjanjian Lama seperti Amsal sangat menekankan tentang ini sehingga dikenal dengan keadilan retributive. Namun, anggapan ini mendapat kritikan ketika tampil sosok Ayub yang adalah orang saleh dan ia menderita. Hal ini dapat dilihat dari pergulatan Ayub menghadapi penderitaan dan bagaimana ia dikenal sebagai orang yang saleh.
Apakah penderitaannya adalah akibat dosa? Rasa-rasanya terlalu cepat untuk menempatkan konsep ini pada kisah Ayub. Dalam bahasan mengenai Perjanjian Lama, penderitaan Ayub berasal dari iblis, bukan dari Allah sendiri. Allah hanya mengizinkan iblis untuk mencobai manusia. Allah menghukum dalam arti mengizinkan atau membiarkan penderitaan terjadi atas manusia dan sama sekali tidak berperan secara aktif 'memberikan' penderitaan tersebut, sebab bagaimanapun Allah adalah Kasih. Dari sinilah dapat dilihat bahwa penderitaan bukanlah hukuman dari Allah. Bisa juga mengatakan bahwa ini adalah sebuah relitas hidup manusia. Artinya, setiap orang tidak bisa menghindari penderitaan atau mengaitkannya dengan hukuman Allah akibat dosa.
Penolakan akan hal yang sama juga disampaikan dalam refleksi iman selanjutnya. Salah satunya adalah apa yang disampaikan oleh Karl Rahner dan Yohanes Paulus II. Karl Rahner mengatakan bahwa "Tuhan mengizinkan, bukan memberikan penderitaan." Rahner menggagas pengertian ini berdasarkan pemahamannya akan Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak-anak-Nya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Yohanes Paulus II dalam dokumen Salvifici Doloris (1984), yang mengutip apa yang terdapat dalam 2 Makabe, 6:12: ...hukuman-hukuman (penderitaan) tidak bermaksud untuk membinasakan bangsa kita, tapi untuk memperbaikinya. Berdasarkan beberapa gagasan ini menjadi jelaslah bahwa penderitaan tak selamanya disebabkan oleh dosa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H