Hubungan antara dosa dan penderitaan adalah teori klasik yang sepertinya sudah melekat dalam setiap orang yang mengenal Allah. Kisah Adam dalam Perjanjian Lama sepertinya menjadi batu pijakan kuat untuk beranggapan bahwa penderitaan adalah akibat dosa atau sebagai episode pertama dari pemahaman ini. Peristiwa keluar dari taman Firdaus, dilihat sebagai awal dari kejatuhan manusia dari dosa dan sekaligus awal dari penderitaan. Apalagi ini semakin dipertegas oleh kata-kata dari Allah sendiri bahwa ia akan membuat manusia itu bersusah payah untuk mencari rezeki seumur hidup dari tanah yang telah dikutuk karena dosanya, rumput duri dan semak duri akan dihasilkan baginya, tumbuh-tumbuhan akan menjadi makanannya, dan dengan peluh ia akan terus berusaha hingga kembali ke tanah di mana awal mula keberadaannya (bdk. Kej, 3:17-19).
Konsep tentang penderitaan adalah akibat dosa, hidup cukup lama dalam pandangan orang Israel yang mengenal tentang Taurat. Apalagi dengan perjanjian dengan YHWH kembali mempertegas kesetiaan mereka kepadanya. Sehingga setiap orang yang tidak setia akan mendapat kutuk (penderitaan) dan yang setia akan mendapat berkat. Sastra kebijaksanaan juga memegang konsep ini, seperti yang terdapat dalam Amsal yang menggunakan konsep keadilan retributive. Tetapi, ketika Ayub tampil dengan segala kesalehan, dan ketaatan kepada Allah dan ia akhirnya menderita, membuat orang bertanya kembali tentang konsep itu. Apalagi ketika penulis kitab ini mengatakan bahwa "Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut (Ayub, 1:22). Apakah penderitaan semata-mata karena dosa manusia?
Analisis teks Ayub 1: 22
Cerita yang ada dalam Kitab Ayub sangat menarik, walaupun ada pandangan yang mengatakan bahwa ini semacam cerita fabel. Apakah kisah ini dinspirasi oleh Roh Kudus? Iya. Seperti semua Kitab Suci, Kitab Ayub diilhami oleh Roh Kudus (2 Timotius 3:16-17 dan 2 Petrus 1: 20-21). Jika melihat isinya, kisah yang dihadirkan untuk memuat pesan moral yang tentunya mempunyai tujuan yang khas. Cerita ini hadir untuk memberikan penguatan perasaaan religius masyarakat dengan menghadirkan tokoh Ayub yang mempunyai kepribadian yang baik dan sempurna.
Menurut Heavenor, identitas sang penulis kitab ini tidak diketahui. Ada keyakinan bahwa kitab ini tidak ditulis oleh seorang Yahudi. Mengapa? Karena baik tokoh maupun cerita tidak terikat hanya budaya Yahudi saja. Walaupun ada anggapan seperti ini (ada unsur non-Yahudi), kitab ini telah diterima oleh orang Yahudi dalam bahasa Ibrani. Mengenai tahun kepenulisannya dapat diperkirakan bahwa kitab ini sudah ada sejak tahun 600-400 SM. Berkiatan dengan kekuarangan data tentang identitas penulis kitab ini, referensi Alkitab lainnya mengkonfirmasi kebenaran sejarah dari cerita Ayub, menunjukkan bahwa dia hidup dan ceritanya terkenal: Yeh 14:14, 20; Yakobus 5:11. Kitab ini disusun dalam tiga bagian utama yakni prolog (1-2), dialog (3-42:6) dan epilog (42:7-17). Ayat yang menjadi rujukan peper ini terdapat pada bagian prolog, 1:22.
Ayub, 1; 22:Â Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan menuduh Allah berbuat yang kurang patut.
Penafsiran teks ini tidak terlepas dari kisah dalam ayat-ayat sebelumnya. Secara umum kisah dalam bab 1 ini dilihat sebagai pengenalan awal kisah penderitaannya. Kesalehanannya dicobai dengan hadirnya penderitaan. Ia kehilangan segalanya. Para penjaga lembu dan sapi di ladang di bunuh oleh orang-orang Syheba (1:15), api telah menyambar dari langit dan membakar habis kambing domba dan penjaga-penjaganya (1:16), orang Kasdim datang menyerbu dan mengambil unta dan memukul penjaga (1:17), anak-anaknya laki-laki dan perempuan meninggal ketika sedang berpesta karena angin ribut dan rubuhlah bangunan tempat mereka berpesta dan matilah semuanya (1: 18-19). Dalam sekejap mata ia merasakan kehancuran. Konsep tentang keadilan retributive yang ada sepertinya sedikit terganggu ketika ayat-ayat ini dihadirkan.
Ketika Ayub mendengar semua yang diceritakan kepadanya, ia sendiri masih mempertahankan dirinya bahwa ia tidak melakukan yang jahat di mata Tuhan. Secara tidak langsung, penulis ingin menampilkan inti dari tulisan kitab ini bahwa Ayub adalah seorang yang saleh, yang selalu setia dan taat kepada Allah. Ada dua hal yang dapat menjelaskan alasan kenapa Ayub tetap pada pendiriannya. Pertama, Iblis total salah. Ayub mengakui kedaulatan Allah yang memberi dan mengambil, sehingga ia menerimanya tanpa menuduh Allah berbuat yang kurang patut. Ayub melakukan refleksi diri untuk merenungkan masalahnya dengan berdiam diri selama tujuh hari lamanya tanpa sepatah katapun. Kedua, Ayub menjadi sadar, bahwa tidak ada hak yang dimilikinya untuk mempertahankan semuanya itu. Untuk menegaskan hal itu, Ayub memberikan pernyataan kedua, Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.
Pernyataan atau ungkapan Ayub "tidak berdosa" dengan bibirnya dapat disimpulkan bahwa selama dalam kondisinya yang sulit, Ayub tidak pernah melakukan yang hal tidak benar dalam arti mengutuk Allah (seperti yang diharapkan oleh Iblis dan juga istrinya (1:11; 2:5, 9). Alasannya adalah dosa selalu dikaitkan dengan apa yang keluar dari dalam mulut seseorang. Biasanya ketika mengalami penderitaan, kecenderungan manusia adalah mengutuki Allah atau menolak penderitaan yang diterima. Tetapi ini berbeda dengan Ayub. Ia bahkan tidak pernah mengutuki Allah ketika ia belum menderita dan setelah ia menderita. Hal ini semakin mempertegas bahwa penderitaan tak selamanya dikaitkan dengan dosa.
Penderitaan Manusia adalah Akibat dari Dosa?