Mohon tunggu...
Erson Bani
Erson Bani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023), "Melayat Mimpi" (2023), Senandika dari Ujung Negeri: Kumpulan Opini dan Esai tentang Pendidikan, Sosial, Budaya, dan Agama (2024)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan Seksual: Saatnya Menghentikan Pelestarian Culture of Silence

15 Februari 2022   21:54 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:15 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya terlalu berlebihan jika mengatakan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di Indonesia seperti wabah yang terus menyebar. Wabah itu bahkan tidak mengenal jabatan atau status sosial seseorang. 

Proses pengesahan RUU TPKS yang sebenarnya bisa menjadi cara perlindungan kepada korban belum menemui titik akhir. Ditambahkan lagi adanya perubahan hukuman yang diberikan kepada Hery Wirawan, pemerkosa santriwati dari hukuman mati menjadi kebiri. 

Banyak orang merasa bahwa hukuman ini tidak setimpal dan bisa saja ia akan melakukannya lagi. Kasus kekerasan maupun pelecehan bukanlah masalah yang baru terjadi. Ini sudah terjadi bertahun-tahun dan hanya beberapa kasus saja yang berhasil mendobrak budaya diam (culture of silence) dalam masyarakat.

Kasus kekerasan seksual sering dialami pada anak-anak dan remaja perempuan. Berdasarkan data yang tercantum dalam Catatan Tahunan (CATAHU) pada peringatan Hari Perempuan Internasional 7 Maret 2018, dituliskan bahwa terdapat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 (termasuk kekerasan seksual). 

Ada tiga jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam masyarakat, yakni pencabulan, pelecehan, dan pemerkosaan. Kekerasan ini paling banyak dilakukan oleh remaja pria yang masih berstatus sebagai pacar dan juga oleh ayah kandung.

Jika kita ingin melihat lebih jauh mengenai kekerasan seksual yang menimpa perempuan, ada yang mengatakan (dari pihak korban) bahwa sebenarnya kasus ini sudah lama terjadi, tetapi mereka tidak bisa mengungkapkannya. 

Bisa dikatakan bahwa memilih untuk diam sudah menjadi budaya bagi mereka yang mengalami kekerasan. Apa yang menyebabkan mereka diam? 

Semuanya karena budaya kita yang masih menganggap perempuan memiliki derajat lebih rendah dari laki-laki masih sangat kuat. Hanya para pria yang memiliki kebebasan dan pria adalah pusat makluk hidup dan perempuan tidak memiliki hak sedikit pun (pandangan masyarakat Yunani kuno). Kekuatan fisik dan budaya yang menganggap bahwa pria adalah pusat makluk hidup, menjadikan budaya diam terus berlanjut dalam masyarakat.

Ketika berhadapan dengan peristiwa seperti ini, yang harus dilakukan adalah bagaimana membela hak perempuan untuk mendapat perlindungan, bukan melestarikan budaya diam. Membantu mereka agar bisa bersuara dan bukan memojokan mereka dan menjadikan mereka sebagai sumber kejahatan. Pandangan tentang perempuan sebagai sumber terjadinya kekerasan seksual bukan cerita baru bagi negeri ini. Pertanyaannya, apakah benar begitu?

Dalam buku "Heaven on Earth": Potret Kehidupan Manusia yang ditulis oleh Mona Sugianto berkisah tentang seorang raja yang hendak melakukan perjalanan jauh dan ia meminta agar semua prajuritnya membentangkan karpet disepanjang jalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun