Peristiwa penghacuran jiwa dan bangunan pada Mei 2021 mungkin masih terlintas dalam benak saudara-saudara di Pelestina. Beberapa orang harus menjadi korban konflik yang hingga kini belum menemui titik akhir. Bahkan jauh sebelumnya, perang tidak bisa terkendali.Â
Sebut saja peristiwa besar yang terjadi pada Perang Dunia I dan II. Selain kedua perang besar ini, masih banyak lagi perang yang terjadi di beberapa negara dan bahkan hingga saat ini, gema perang seakan menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.
Pada akhir Januari 2022, rencana perang kembali terjadi antara Rusia dan Ukraina. Konflik keduanya pun semakin memanas ketika beberapa negara ikut ambil bagian dalam rencana ini.Â
Peralatan perang mulai dipersiapkan. Latihan perang pun telah dilakukan. Keinginan untuk perang terlihat sangat besar dalam diri para prajurit. Upaya perdamaian sepertinya masih jauh dari harapan.
Jika dilihat dari konseksuensi perang itu sendiri, bukan tidak mungkin tentu akan muncul kengerian perang. Konsekuensi perang adalah kematian. Berada di medan perang berarti siap untuk tidak kembali lagi.
Tubuh manusia menjadi konsekuensi yang paling besar dan diikuti kerusakan bangunan seperti perumahan warga, jembatan, gedung-gedung besar dan berbagai bangunan lainnya.Â
Apakah mereka yang hendak berperang tahu dan sadar akan risiko ini? Tentu iya. Tetapi tidak sedikit juga yang memilih untuk mengakhiri perselisihan melalui perang. Keinginan ini kemudian diterjemahkan sebagai bentuk patriotisme.
Dalam buku yang ditulis oleh Michael True "An Energy Field More Intense than War" (1995) dikatakan bahwa dalam Perang Dunia I, 95 persen dari mereka yang gugur adalah tentara dan 5% warga sipil ; dalam Perang Dunia II, 52 persen adalah tentara dan 48% warga sipil; dalam Perang Korea, 16 persen adalah tentara dan 84% adalah warga sipil. Masih banyak lagi jumlah korban jiwa yang meninggal entah tentara maupun warga sipil.
Ketika ditanya antara perang dan damai, sebagian atau mungkin banyak orang akan memilih yang kedua. Pertanyaannya, mengapa banyak orang masih memilih untuk berperang dengan penuh antusias? Pertanyaan yang sama pernah ditulis oleh Nel Noddings, filsuf feminis Amerika dalam buku "Peace Education: How We Come to Love and Hate War".Â
Nel Noddings sadar bahwa sudah banyak buku yang berbicara tentang upaya mengatasi perang salah satunya melalui pendidikan perdamaian. Kesadaran inilah yang mengantarnya untuk melihat sisi lain dari perang yakni psikologi. Patriotisme menjadi salah satu alasan mengapa perang belum berakhir.
Gagasan Nel Noddings tentang patriotisme menyebabkan perang tentu akan menimbulkan pertanyaan. Patriotisme adalah bentuk kesetiaan dan kecintaan kepada tanah air.
Gugur di medan perang adalah sebuah kehormatan bagi seorang pejuang karena kecintaan kepada bangsa dan tanah airnya. Bagaimana bisa patriotisme yang harus dipegang teguh bagi seorang warga negara malah dilihat sebagai penyebab perang. Apa maksud patriotisme dalam pandangan Nel Noddings?
Konsep patriotisme yang selalu ada dalam benak setiap orang. Bahkan sejak kecil seseorang telah belajar cara mencintai negara dengan mengenang perjuangan para tentara yang telah gugur.Â
Satu gagasan yang tentu tidak mudah untuk diterima yakni ketika ia mengatakan bahwa sejak kecil dalam diri anak-anak selalu ditanamkan sikap patriotisme melalui lagu, puisi dan cerita militer dan berbagai ritual yang mendukung dan merayakan perang.
Para peserta didik diindoktrinasi dengan sumpah (pledge), puisi dan lagu patriotik, hari libur nasional, dan catatan sejarah yang disusun dengan cermat.Â
Sebagian besar dari mereka adalah warga negara yang antusias pada saat mereka memasuki sekolah menengah, dan banyak warga negara dewasa akan berpendapat bahwa ini adalah hal yang baik. Pendidikan untuk patriotisme menampilkan kontradiksi yang serupa dengan yang telah kita lihat dalam sikap terhadap perang.
Patrotisme hampir sepenuhnya mengarah pada militer. Misalnya apa yang disampaikan Nel Noddings dalam bukunya. "Mungkin belum pernah ada negara yang mengalami begitu banyak kesulitan dan penderitaan dalam mewujudkan kondisi kebebasan, budaya, dan kesejahteraan pribadi saat ini.Â
Pikirkan ribuan orang yang telah bekerja keras, menderita, dan mati untuk itu! Kita punya negara yang bisa kita cintai, karena ada patriot yang mencintai negaranya lebih dari mencintai dirinya sendiri.Â
Tidak ada negara yang memiliki pahlawan yang begitu hebat, dan jumlahnya lebih banyak daripada yang bisa kita sebutkan". Pelajaran patriotisme seperti ini bersifat nasionalistik dan lagi-lagi berhubungan dengan militer.
Berhadapan dengan sikap ini James Terry White berkomentar bahwa tentu saja ada sesuatu yang lebih tinggi dari patriotisme, dan itu adalah cinta kemanusiaan.
Kita seharusnya tidak pernah membiarkan cinta kita kepada orang-orang sebangsa kita sendiri menghalangi cinta yang lebih besar dari sesama kita. Dunia lebih besar dari negara mana pun di dalamnya. Ini yang disebut dengan kosmopolitanisme.Â
Martha Nussbaum berpendapat bahwa cita-cita yang sering dikaitkan dengan patriotisme, keadilan dan kesetaraan akan lebih baik dilayani oleh cita-cita lain yaitu cita-cita kosmopolitan, orang yang kesetiaannya kepada komunitas manusia di seluruh dunia.
Dalam sejarah Amerika, mungkin contoh kosmopolitanisme yang paling terkenal adalah Thomas Paine. Anak-anak sekolah biasanya belajar sesuatu tentang Paine's Common Sense, sebuah pamflet yang membangkitkan dan menyatukan orang Amerika awal dalam penentangan mereka terhadap aturan Inggris.Â
Dia, tampaknya, seorang patriot yang luar biasa. Tetapi siswa jarang mendengar apa yang dia tulis dalam The Age of Reason, di mana dia menyatakan dirinya sebagai warga dunia dan menyatakan komitmennya untuk "melakukan keadilan, kasih sayang, dan berusaha untuk membuat sesama makhluk bahagia.
Sungguh luar biasa bahwa karyanya tulisan-tulisannya berperan penting dalam mendorong revolusi dan menginspirasi generasi pemikir non-kekerasan. Akal sehat Paine secara luas dikagumi, tetapi gagasannya tentang nirkekerasan dan kosmopolitanisme sering dikutuk. Â
Bertahun-tahun kemudian, Theodore Roosevelt menggambarkannya sebagai "ateis kecil yang kotor." Bahkan hingga saat ini, sikap yang disebut kosmopolitanisme sering disamakan dengan anti-Amerikanisme dan antipatriotisme. Nussbaum lalu menambahkan, "menjadi warga dunia seringkali merupakan usaha yang sepi (a lonely business).
Nel Noddings mempunyai harapan besar untuk mendamaikan konsmopolitanisme dan patriotisme. Ada empat yang harus diberi perhatian lebih dalam upaya ini kepedulian terhadap kedudukan di dunia, kebanggaan pada warisan, kebanggaan pada prinsip-prinsip yang menjadi dasar negara, dan kecintaan terhadap tanah air. Bisakah cinta tempat berkontribusi pada patriotisme yang sehat?
Yang dimaksudkan dengan kedudukan atau posisi di dunia adalah keinginan untuk tetap menjadi yang nomor satu. Ada semacam keinginan untuk mendapat pengakuan dari publik bahwa tidak ada negara yang lebih hebat darinya.
Ini menjadi bahaya ketika ada negara yang berkonflik dengan negara yang memegang prinsip ini maka jalan paling mungkin untuk berdamai adalah perang.Â
Kecintaan kepada negara membuatnya memilih jalan yang mengandalkan kekerasan. Selain itu, kecintaan kepada tempat atau tanah sebagai sumber kehidupan menjadi alasan kuat dalam berperang.
Patriot sering rela berjuang dan mati untuk tempat tertentu yang mereka identifikasi sebagai negara mereka. Kecintaan patriotik terhadap tempat tampaknya bersifat universal; tempat yang dicintai dikaitkan dengan rasa memiliki. Ini adalah tempat saya (kami) dan saya harus melindunginya dari orang luar yang akan mengambil atau mengubah sifatnya.Â
Cinta tempat begitu kuat sehingga para pemimpin nasional terkadang menggunakannya sebagai alasan untuk berperang "melindungi tanah kita" ketika tidak ada ancaman nyata terhadap tanah air mereka.
Secara politis, cinta tempat tampaknya menjadi sumber konflik. Ketika tempat itu diidentikkan dengan kepemilikan, itu terus menjadi fokus utama untuk pertempuran yang diilhami patriotik.
Ketika tanah seseorang dihancurkan maka semua harapan juga dihancurkan. Setiap generasi tentu akan sangat mengharapkan terlahir dalam tempat yang tanahnya tidak mengalami penghacuran.Â
Selain berdampak pada usianya, generasi berikutnya bisa saja menjadi penerima pasif dari tindakan penghacuran yang diterima saat ini. Patriotisme yang berkaitan dengan perang dan militer seharusnya perlu untuk memikirkan ini.
Patriotisme yang hanya berorentasi pada militer hanya membuat perang tidak menemukan titik akhir. Perang bukan jalan yang tepat untuk menujukan sikap patriotisme.
Banyak hal yang akan terjadi jika harus berperang. Selain kehancuran jiwa, bangunan dan identitas sosial juga hancur karena perang. Perang tidak hanya menyebabkan kehancuran pada masa kini tetapi juga dapat menghancurkan jiwa di masa mendatang. Kekejaman Auschwitz menjadi contoh nyata dari semuanya ini.
Jean Amery, anggota perlawanan Belgia, disiksa oleh Gestapo dan, sebagai seorang Yahudi, kemudian dikirim ke Auschwitz. Amery pernah menulis bahwa siapa pun yang telah menderita siksaan tidak akan pernah lagi merasa nyaman di dunia, kekejian pemusnahan tidak pernah padam.Â
Hal yang sama pernah dialami oleh Primo Levi. Levi bahkan menuliskan tentang kemerosotan diri sosial yang terjadi di Auschwitz di mana tahanan hidup seperti binatang. Ketika peristiwa penyiksaan berakhir, kedua orang ini pun tidak benar-benar pulih dan akhirnya memilih untuk bunuh diri.Â
Amery bunuh diri pada 1978, Levi pada 1987. Bunuh diri, tulis Levi, jarang terjadi dalam kondisi ini tetapi jauh lebih umum setelah pembebasan. Mengapa harus demikian? Levi mengatakan bahwa "bunuh diri adalah tindakan manusia bukan hewan dan para tahanan hidup seperti binatang" (Primo Levi, The Drowned and the Saved, terjemahan Raymond Rosenthal: 1988).
Patriotisme bukanlah hal yang salah. Pengenangan terhadap usaha para pejuang perang adalah penghormatan yang wajar. Pengenangan hari besar nasional juga tanda cinta kepada negara. Ini adalah bentuk patriotisme.Â
Hanya saja, jika cara untuk menunjukan patriotisme menurut Nel Noddings perlu untuk dilihat kembali. Perang bukanlah jalan final dalam menyelesaikan konflik atau untuk mencapai perdamaian.
Berhentilah untuk melestarikan adigum Latin Si Vis Pacem, Para Bellum (Jika menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang). Saat ini, dunia perlu mengganti adagium itu dengan yang baru yakni Si Vis Pacem, Para Panem (Jika menginginkan perdamaian, siapkanlah roti). Seadil apapun perang tidak pernah menciptakan perdamaian yang ada hanyalah dendam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H