Pieris memulai konsep dialog agama-agama dengan mengambil sikap sekaligus jarak terhadap apa yang dikatakan oleh Gereja mengenai agama lyan. Sikap Gereja ini dibagi ke dalam dua bagian, yakni apa yang dikatakan oleh magisterium Gereja dan magisterium para ahli.Â
Menurut Pieris ada tiga sikap, yakni ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Sebagaimana diketahui bersama maksud dan arti dari setiap sikap.
  Â
Eklusivisme merupakan pandangan yang mengatakan bahwa keyakinan agama saya merupakan agama yang paling benar atau menjadi sarana keselamatan. Implikasi langsung dari sikap ekslusivistis adalah upaya untuk memasukan lyan ke dalam horison keagamaan saya.Â
Upaya ini merupakan implikasi paling utama dari sikap ekslusif. Inklusivisme merupakan sebuah kemajuan, keyakinan bahwa kekuatan absolut yang menyelamatkan ada dalam agama saya, tetapi pada saat yang sama daya menyelamatkan ini juga terkandung dalam agama-agama lyan.Â
Daya agama lyan menyelamatkan sejauh ia terarah kepada keyakinan agama saya. Para penganut pluralisme berpandangan bahwa setiap agama memiliki kekhasan keselamatan atau pembenaran. Implikasi bahwa ada penolakan untuk menyesuaikan gagasan keselamatan dari agama yang satu ke dalam agama lyan.
Bagi Peris sendiri, ketiga sikap sebagaimana diulas di atas tidak tepat sasar untuk dieksplisitkan dalam konteks Asia. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa Asia memiliki keberagaman keyakinan iman dan pada saat yang sama, terdapat situasi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Asia.Â
erhadapan dengan kenyataan ini kita tidak dapat menggagas dialog untuk dirinya sendiri. Dialog antaragama dalam konteks Asia harus bermuara pada pembebasan dari ketertindasan. Teologi agama-agama dan dialog antar-agama dalam konteks Asia harus berangkat dari dunia ketiga. Karena demikian ia menawarkan magisterium ketiga, yakni magisterium kaum miskin.
Orang-orang miskin memiliki spiritualitas duniawi, yakni keterseruan mereka kepada Allah karena ketertindasan. Mereka berseru kepada Allah agar dipenuhi segala kebutuhan hidup seperti rumah, makanan, pekerjaan, dan lain sebagainya.Â
Keadaan ini mewarnai doa mereka. Tanda bahwa dalam ketertindasan, mereka sepenuhnya bergantung pada Allah. Artinya Allah mereka adalah nasi, lombok, rumah, dsb. Spirtualitas mereka adalah spirtualitas kosmik.Â
Di dalam spiritualitas kosmik terdapat daya pembebasan. Daya pembebasan ini terungkap dalam narasi hidup mereka, yakni Allah bergulat bersama mereka Dan hal ini tidak cukup dihargai bahkan diekslusikan dalam dialog antar-agama dari kalangan Kristiani.Â
Bagi Peris, Kristianitas sudah terlalu lama berdilaog secara ekslusif dengan agama-agama metakosmis dan berusaha untuk menciptakan suatu bahasa teologi untuk mengkomunikasikan pengalaman kita bersama tentang realitas absolut. Karena spiritualitas kosmik sering dipandang materialistis dan infantil. Padahal banyak transformasi besar di Asia terjadi berkat keterlibatan mereka.
Pieris melihat realita di kelompak basis adalah sebuah realita yang mengagumkan, yakni bahwa mereka tidak berkumpul atau berdialog antaragama bukan demi diri dialog itu sendiri. Titik tolak mereka adalah pembebasan total bagi orang yang bukan pribadi dan bukan warga negara.
Dalam proses yang berkesinambungan setiap anggota menemukan keunikannya. Kejatidirian dari agama atau keyakinan tidak diperoleh secara akademik, tetapi diperoleh dari relasi atau dialog dengan lyan. Identitias diri diperoleh dengan sama-sama menggulati persoalan kemiskinan.
Atas dasar ini Pieris menawarkan tiga model untuk berdialog interreligius, yakni sinkretisme, sintesis, dan simbiosis. Namun kemudian ia memberi catatan lanjutan bahwa, sinkretisme sebenarnya tidak ada dalam realita orang miskin. Karena model ini diberikan oleh para pengamat yang sebenarnya berada di luar horison keberadaan orang miskin. Sementara sintesis memang ada tetapi ia ada secara individual, tetapi bukan menjadi fenomena yang umum. Untuk simbiosis Pieris melihat fenomena ini di dalam kelompok basis. Di dalam kelompok basis terjadi simbiosis antaragama. Bagi Pieris setiap agama ditantang oleh pendekatan khas dari agama lyan terhadap penderitaan dan harapan orang miskin akan pembebasannya.
Ketika kita berbicara mengenai setiap gagasan teologis Pieris (teologi agama-agama), kita secara langsung berhubungan dengan konteks kehidupan Asia. Dua konteks yang sangat mempengaruhi gagasan teologisnya adalah persoalan kemiskinan dan perbedaan keyakinan.Â
Ia memberi batasan yang jelas persoalan kemiskinan Asia tidak dapat melulu dipersempit ke dalam kategori ekonomis sama halnya keagamaan Asia tidak melulu berkaitan dengan budaya. Dua hal inilah yang membentuk Asia. Adalah salah arah ketika berbagai usaha teologis untuk menjumpai agama-agama lyan tidak memperhatikan persoalan kemiskinan dan status dunia ketigaannya.
Dunia ketiga dan Magisterium Ketiga
Neologisme dunia ketiga sejatinya menggambarkan kenyataan umat Allah sendiri. Hal ini ditemukan pada perjuangan orang-orang dari dari dunia ketiga. Masyarakat dunia ketiga berjuang untuk mengatasi rasa lapar. Perjuangan mereka diimplementasikan dengan kesediaan untuk diperbudak oleh negara-negara kaya. Situasi kedunia-ketigaan ini dapat terjadi kapan dan di mana saja. Pembicaraan mengenai teologi apa pun (teologi agama-agama) yang belokus dunia ketiga harus bermuara pada kebangkitan dunia ketiga sebagai umat baru yang mengambarkan kehadiran Allah yang membebaskan dan yang menyatakan untuk memanusiakan dunia yang kejam ini.
Situasi dunia ketiga merupakan situasi semua manusia tanpa ada pembedaan soal geografis dan antropologis. Penderitaan karena kemiskinan tidak hanya dialami oleh kalangan Kristiani, tetapi juga agama lyan. Maka, berteologi berarti harus berbicara di dalam dan melalui agama-agama lyan. Tanpa lyan teologi hanya menjadi kemewahan esoteris minoritas Kristiani. Teologi agama-agama harus memperluas batas-batas ortodoksi yang ada dan pada saat yang sama menggulati aliran pembebasan agama dan kebudayaan lyan.
Ketika kita berbicara dari perspektif dunia ketiga, kita siap berhadapan dengan aspek kembar dosa dan rahmat dalam realita kemiskinan Asia. Kemiskinan berwajah ganda. Kemiskinan dapat berarti tidak memiliki yang dipaksakan pada masa oleh hedonisme karena ketamakan dan kerakusan. Namun di lain sisi kemiskinan adalah keutamaan ketika orang tidak harus hidup secara berkelebihan. Kemiskinan dilihat sebagai sebuah penghayatan hidup atau the way of life. Antitesis dari kemiskinan sebagai keutamaan adalah kemiskinan yang terjadi karena paksaan. Dan persis kemiskinan karena keterpaksaan merupakan konteks khas dunia ketiga.
Teologi Agama-Agama dan Dialog Antaragama Berangkat dari Dunia Ketiga
Satu kenyataan yang harus disadari adalah bahwa banyak informasi mengenai dunia ketiga berasal atau dikumpulkan di Eropa dan Amerika. Hal yang sama terjadi juga untuk penghayatan keagamaan. C. S. Tipe melihat adanya kecenderungan dari Barat untuk menyamaratakan agama-agama sebagai sesuatu yang berlebih-lebihan di dalam kebudayaan yang mereka pelajari.Â
Agama dilihat sebagai yang berada di luar pengalaman alamiah dan manusiawi. Ritus keagamaan tidak dipandang sebagai sistem makna dan kepercayaan. Sosialitas manusia dipisahkan dari pandangan dunia yang diberikan oleh agama. Artinya bahwa teologi tidak mempertimbangkan antropologi.
Gagasan teologis agama-agama berangkat dari suatu perbedaan historis mengenai relasi Kristus dan agama. Ada dua sikap di balik gagasan ini, yakni Kristus melawan agama-agama dan Kristus dari Agama-agama. Menurut Pieris perbedaan mencolok antara kedua sikap ini terdapat pada teologi pembebasan ala Amerika Latin. Salah satunya Gustavo Gutieres yang memperlawankan religiositas populer dengan iman yang libertif. Di dalam konsep ini ada kebahayaan sendiri kalau diterapkan untuk konteks Asia. Karena terdapat dua aliran besar, yakni paham Marxisme dan pengakuan pastoral dan kebudayaan populer. Di sini teori agama dipisahkan dari perannya sebagai pembebas.
Teori-teori agama bukanlah hasil kreasi Amerika. Teori agama merupakan campuran dua pola pikir Eropa, yakni sebelum mengenal agama dan kebudayaan non Kristiani dan setelah mengenal kompleksitas agama dan kebudayaan non-Kristiani. Agama menurut konsepsi Barat itu tersirat bagi Asia karena dasarnya adalah Kitab Suci. Sementara dalam konteks Asia agama bukanlah hasil spekulasi kritis karena agama merupakan the way of life. Agama merupakan kehidupan sendiri dari pada fungsi kehidupan. Agama menjadi etos keberadaan manusia yang menyerambahi segala segi kehidupan manusia.
Teologi agama yang berkontekskan dunia ketiga harus berangkat dari kenyataan bahwa agama dan kebudayaan memiliki satu-kesatuan. Kebudayaan merupakan ungkapan agama yang beraneka warna dan agama-agama dapat saling bertemu dalam dan melalui manifestasi dari kebudayaan masing-masing. Hampir tidak tampak adanya perbedaan antara agama dan kebudayaan. Dalam beberapa kasus, kebudayaan dari satu agama berhubungan dengan agama lain sebagai tamu dan tuan rumah.
Ada juga relasi kesaling-memperkayaan antara agama-agama. Hal ini dilihat dalam kenyataan bahwa agama-agama mendapatkan kewarganegaraannya di dalam zona linguistik yang lain. Kita melihat kenyataan keagamaan di dunia ketiga, para petani dan proletariat membawa atau menghayati kereligiusannya yang non Kitab Suci. Keagamaan mereka mengalir sering berjalan atau berprosesnya waktu. Keagamaan ini mereka fleksibel dan kenyataan ini adalah esensial bagi perubahan sosial.
Pieris menggunakan istilah agama metakosmis untuk menyebut agama-agama yang yang rumusan soteriologisnya dalam kerangka berada di luar sana. Kekuatan metakosmis ini dapat diinternalisasikan dalam manusia sebagai kekuatan agapepis Cinta yang menebus atau juga melalui jalan gnosis pengetahuan yang membebaskan. Sementara agama kosmis digunakan untuk menyebut agama-agama suku.Â
Agama ini berputar sekitar kekuatan atau kekuasaan kosmis (dewa, Kealahan, roh). Istilah ini menunjuk pada gejala-gejala alam atau arwah para pahlawan masa lampau.Â
Pembauran (akretisme) antara kedua agama ini membuat manusia belajar untuk menggabungkan perhatian kosmis (makanan, panen, hujan, dan sinar matahari) yang ditentukan secara lokal dengan orientasi soteriologisnya ke seberang metakosmis. Ada ketersalinglengkapan antara agama kosmis dan metakosmis, yakni agama kosmis berfungsi sebagai fundasi dan soteriologi metakosmis merupakan bangunan utama.
Agama kosmis sudah terintegrasi ke dalam soteriologi agama-agama metakosmis, yaitu hinduisme, buddhisme, bahkan taoisme. Karena demikian soteriologi metakosmis tidak pernah ditemukan dalam bentuk tekstual abstrak, tetapi selalu dikontekstualkan di dalam pandangan dunia agama kosmis dan kebudayaan lyan.Â
Dan hal ini dilihat Pieris dilihat dalam agama Buddha. Dengan pertimbangan Pieris bahwa Buddhisme merupakan satu agama yang pan-asia. Buddha itu sangat mewarnai Asia dan membiarkan dirinya dibentuk oleh kebudayaan lyan. Buddhisme dapat dipakai sebagai dasar untuk melihat relasi antara agama kosmis dan metakosmis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H