Mohon tunggu...
Erson Bani
Erson Bani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023), "Melayat Mimpi" (2023), Senandika dari Ujung Negeri: Kumpulan Opini dan Esai tentang Pendidikan, Sosial, Budaya, dan Agama (2024)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gagasan Teologis dan Dialogis Agama-agama Menurut A. Pieris

3 Januari 2022   23:17 Diperbarui: 3 Januari 2022   23:37 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: International Harmony Theologian Prize

Satu kenyataan yang harus disadari adalah bahwa banyak informasi mengenai dunia ketiga berasal atau dikumpulkan di Eropa dan Amerika. Hal yang sama terjadi juga untuk penghayatan keagamaan. C. S. Tipe melihat adanya kecenderungan dari Barat untuk menyamaratakan agama-agama sebagai sesuatu yang berlebih-lebihan di dalam kebudayaan yang mereka pelajari. 

Agama dilihat sebagai yang berada di luar pengalaman alamiah dan manusiawi. Ritus keagamaan tidak dipandang sebagai sistem makna dan kepercayaan. Sosialitas manusia dipisahkan dari pandangan dunia yang diberikan oleh agama. Artinya bahwa teologi tidak mempertimbangkan antropologi.

Gagasan teologis agama-agama berangkat dari suatu perbedaan historis mengenai relasi Kristus dan agama. Ada dua sikap di balik gagasan ini, yakni Kristus melawan agama-agama dan Kristus dari Agama-agama. Menurut Pieris perbedaan mencolok antara kedua sikap ini terdapat pada teologi pembebasan ala Amerika Latin. Salah satunya Gustavo Gutieres yang memperlawankan religiositas populer dengan iman yang libertif. Di dalam konsep ini ada kebahayaan sendiri kalau diterapkan untuk konteks Asia. Karena terdapat dua aliran besar, yakni paham Marxisme dan pengakuan pastoral dan kebudayaan populer. Di sini teori agama dipisahkan dari perannya sebagai pembebas.

Teori-teori agama bukanlah hasil kreasi Amerika. Teori agama merupakan campuran dua pola pikir Eropa, yakni sebelum mengenal agama dan kebudayaan non Kristiani dan setelah mengenal kompleksitas agama dan kebudayaan non-Kristiani. Agama menurut konsepsi Barat itu tersirat bagi Asia karena dasarnya adalah Kitab Suci. Sementara dalam konteks Asia agama bukanlah hasil spekulasi kritis karena agama merupakan the way of life. Agama merupakan kehidupan sendiri dari pada fungsi kehidupan. Agama menjadi etos keberadaan manusia yang menyerambahi segala segi kehidupan manusia.

Teologi agama yang berkontekskan dunia ketiga harus berangkat dari kenyataan bahwa agama dan kebudayaan memiliki satu-kesatuan. Kebudayaan merupakan ungkapan agama yang beraneka warna dan agama-agama dapat saling bertemu dalam dan melalui manifestasi dari kebudayaan masing-masing. Hampir tidak tampak adanya perbedaan antara agama dan kebudayaan. Dalam beberapa kasus, kebudayaan dari satu agama berhubungan dengan agama lain sebagai tamu dan tuan rumah.

Ada juga relasi kesaling-memperkayaan antara agama-agama. Hal ini dilihat dalam kenyataan bahwa agama-agama mendapatkan kewarganegaraannya di dalam zona linguistik yang lain. Kita melihat kenyataan keagamaan di dunia ketiga, para petani dan proletariat membawa atau menghayati kereligiusannya yang non Kitab Suci. Keagamaan mereka mengalir sering berjalan atau berprosesnya waktu. Keagamaan ini mereka fleksibel dan kenyataan ini adalah esensial bagi perubahan sosial.

Pieris menggunakan istilah agama metakosmis untuk menyebut agama-agama yang yang rumusan soteriologisnya dalam kerangka berada di luar sana. Kekuatan metakosmis ini dapat diinternalisasikan dalam manusia sebagai kekuatan agapepis Cinta yang menebus atau juga melalui jalan gnosis pengetahuan yang membebaskan. Sementara agama kosmis digunakan untuk menyebut agama-agama suku. 

Agama ini berputar sekitar kekuatan atau kekuasaan kosmis (dewa, Kealahan, roh). Istilah ini menunjuk pada gejala-gejala alam atau arwah para pahlawan masa lampau. 

Pembauran (akretisme) antara kedua agama ini membuat manusia belajar untuk menggabungkan perhatian kosmis (makanan, panen, hujan, dan sinar matahari) yang ditentukan secara lokal dengan orientasi soteriologisnya ke seberang metakosmis. Ada ketersalinglengkapan antara agama kosmis dan metakosmis, yakni agama kosmis berfungsi sebagai fundasi dan soteriologi metakosmis merupakan bangunan utama.

Agama kosmis sudah terintegrasi ke dalam soteriologi agama-agama metakosmis, yaitu hinduisme, buddhisme, bahkan taoisme. Karena demikian soteriologi metakosmis tidak pernah ditemukan dalam bentuk tekstual abstrak, tetapi selalu dikontekstualkan di dalam pandangan dunia agama kosmis dan kebudayaan lyan. 

Dan hal ini dilihat Pieris dilihat dalam agama Buddha. Dengan pertimbangan Pieris bahwa Buddhisme merupakan satu agama yang pan-asia. Buddha itu sangat mewarnai Asia dan membiarkan dirinya dibentuk oleh kebudayaan lyan. Buddhisme dapat dipakai sebagai dasar untuk melihat relasi antara agama kosmis dan metakosmis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun