Mohon tunggu...
Ersalrif Ersalrif
Ersalrif Ersalrif Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Saya seorang single mom, bekerja serabutan. Hobi saya membaca, menulis, melukis dan daur ulang barang bekas. Saya seorang yang introvert, tapi berusaha belajar untuk dua buah hati saya. Menulis adalah sarana healing untuk hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetap Semangat ke "Luar" Negeri

28 Juni 2023   08:10 Diperbarui: 28 Juni 2023   08:18 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tetap Semangat Ke "Luar" Negeri
Karya. Ersalrif

Setelah berkutat dengan PPDB yang melelahkan, akhirnya Zainab mengangkat bendera putih, tanda menyerah.

"Mama nyerah deh, Neng!" seru Zainab lesu.

"Maaf ya, Ma!" sahut Lisa sambil menahan tangis.

Zainab langsung memeluk putrinya dengan lembut. Diusap punggung Lisa, yang mulai terguncang, karena sudah menangis sesegukan di dadanya.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik, masih juara kelas, hanya saja, mungkin ini suratan dari Allah kamu harus melanjutkan ke swasta" hibur Zainab mencoba menghibur, "ingat ya, Neng! Semua prestasimu itu tak pernah sia-sia, dan tak akan menjadi sia-sia. Kalo ada yang bilang, percuma sertifikat juara lomba seabrek, tapi nggak bisa nolong kamu lewat jalur prestasi, anggep aja itu c4mbuk untuk kamu lebih maju lagi!" kata Zainab lagi untuk menyupport Lisa.

Zainab tahu betapa kecewanya Lisa. Walau dia juara kelas, nilai akhirnya tak bisa diadu dengan lulusan sekolah lain. Bahkan seluruh sertifikat lomba nasional dan internasional, ditolak.

Rasa kecewa terus menumpuk, saat kenyataan makin jauh dari harapan. Di jalur zonasi dia harus menelan pil pahit kembali. Lokasi rumah yang jauh dari sekolah, menempatkan Lisa di zona prioritas tiga.

Bukan itu saja, usia muda membuatnya semakin jauh, untuk bisa mendapatkan sekolah negeri.

"Kamu harus tetap semangat berprestasi di manapun nanti kamu sekolah, ya!" kata Zainab sambil mengusap air mata putrinya, "Mama cari sekolah yang dekat-dekat sini aja ya, Nak?" kata Zainab sambil menatap wajah Lisa yang masih murung.

"Cari sekolah yang biasa aja, Ma! Tidak perlu yang biayanya tinggi. InsyaAllah Lisa tidak mengecewakan amanah Mama!" sahut Lisa serak dan sarat getaran penuh rasa kecewa.

Zainab memeluk lembut tubuh Lisa. Di tengah hentakan rasa kecewa, putrinya itu masih memikirkan dirinya. Dia tak mau ibunya yang sudah berjuang sendirian, sejak lima tahun lalu itu, keberatan dan makin pontang-panting membiayai hidupnya dan sang adik.

"InsyaAllah kita mendapatkan jalan dari setiap kesulitan, Nak! Bismillah..." kata Zainab sambil tersenyum manis, "ayo semangat!".

Lisa menganggukkan kepala dengan senyum terukir di bibir. Zainab segera merapikan berkas untuk mulai mencari sekolah swasta dan mendaftar. Dia sudah tak ingin berharap lagi.

Yah, sekolah swasta di Jakarta pasti akan mengeluarkan biaya ekstra daripada di sekolah negeri.

Zainab melangkahkan kaki menuju sebuah gedung sekolah. Ini sekolah ke lima yang dia masuki, dan bertanya informasi tentang biaya pendaftaran dan segala tetek bengeknya.

Hatinya semakin lelah, mendengarkan biaya-biaya yang dijabarkan.

"Astaghfirulloh al adziim...," desisnya pelan.

Dia ingin pulang, dan memeluk kedua anaknya, agar beroleh sedikit semangat. Namun, dia bertekad untuk segera mendapatkan sekolah, yang sekiranya ringan di kantong.

"Alhamdulillah..," saat dia mencuri dengar penjelasan yang disampaikan petugas PPDB sekolah swasta, yang baru saja dia masuki.

Ini sekolah swasta yang sedikit ringan. Jika untuk orang berduit, mungkin bisa dibilang, sangat murah.

Zainab menarik napas lega. Dia segera membayar formulir pendaftaran, dan bergegas menuju sekolah dasar puterinya, untuk meminta kelengkapan berkas.

"Bu Zainab mau ambil kartu, ya?" tanya petugas sekolah ramah.

"Iya, Pak!" sahut Bu Zainab singkat.

"Lisa nggak dapet negeri, Bu?" tanya salah satu orang tua, yang pasti sedang melengkapi pendaftaran ke swasta juga.

"Begitulah!" sahut Zainab getir.

"Innalilahi, Lisa dengan segudang prestasinya aja nggak dapet negeri tuh, apalagi kamu?" cerocos seorang ibu dengan ketus, kepada anaknya yang tertunduk lesu.

Zainab memandang anak yang ditegur ibunya itu, menunduk dalam dengan sedih. Bayangan wajah Lisa yang muram, melintas di pelupuk matanya.

"Hei, jangan sedih! Namamu siapa?" tanya Zainab sambil mengangkat wajah anak itu, dengan senyum seramah mungkin.

"Putra, Mama Lisa!" sahutnya pelan dan kembali menunduk, dengan genangan air mata yang sudah menggantung.

"Semangat ya, Putra! Kamu rangking kelas juga, kan? Jadilah yang terbaik di manapun kamu sekolah nanti! Lisa juga kecewa seperti kamu, dan sempat berkata, jika rangking kelas dan prestasi, tak menjamin seseorang mendapat sekolah negeri saat ini!" kata Zainab sambil menepuk pundak Putra lembut, "tapiii, jangan rasa kecewa itu mematahkan semangatmu untuk belajar! Ayo kita ke luar negeri!" lanjut Zainab semangat, sambil mengedipkan mata.

Putra menatap wajah Zainab dengan tak mengerti, "ke luar negeri?" tanyanya pelan, sambil mengerenyit.

"Hahaaa, iya! Kita ke luar negeri dalam tanda kutip, hahaaaa....," gelak Zainab renyah.

"Eeeh, iya iya...., haha....!" gelak Putra setelah paham, "makasih Mama Lisa, sudah mau menyupport Putra, semangat untuk Lisa, ya!" kata Putra sambil mengepalkan tangan.

Wajahnya sudah semringah dan penuh rasa optimis. Sedangkan ibunya masih belum paham.

"Mama Lisa ke kantor TU dulu, ya! Ibu..., support putramu terus, dia anak hebat, dan dia sudah melakukan tugasnya dengan baik, buktinya dia juara kelas juga, looh... Sekarang dia nggak dapat sekolah negeri, bukan berarti dia gagal, Bu!" kata Zainab pada Mama Putra yang mulai menyadari perkataanya, yang selalu menyudutkan putranya itu.

"Terima kasih Mama Lisa sudah menguatkan anak saya, dan menyadarkan saya!" katanya dengan tatapan sedih.

"Sama-sama..., ayo kita semangat di ~luar negeri~, hehe..." kata Zainab sambil mengepal tangan, lalu melangkah pergi.

"Ayo semangat ke ~luar~ negeri, haha..." terdengar gelak tawa mereka yang mendengarkan percakapan sejak tadi.

Sejak percakapan itu, mulai banyak status bermunculan dengan tulisan, "Ayo Semangat Ke ~Luar~ Negeri!"

Saat Lisa melihat kepulangan ibunya, dia senyum-senyum memandangi wajah Zainab. Dia merasakan energi positif ibunya menular. Dia sempat berbalas pesan dengan Putra dan beberapa temannya, jika ibunya memberikan spirit positif, kepada teman-temannya yang tak mendapat sekolah negeri.

"Kita sudah mendapatkan sekolah, semoga ke depannya bisa lebih baik ya, Neng!" kata Zainab sambil meletakan amplop berkas, "nggak apa kan sekolah di sini?" tanya Zainab lagi.

"Ayo semangat ke luar negeri! Hehe..." sahut Lisa sambil memeluk sang ibu, "terima kasih, Ma!" .

"Sama-sama, Sayangku!" kata Zainab lembut.

"Ade ikutan ke luar negeri!" pekik Dul seraya menghambur.

"Jangaaan, mama berat kalo Dul ikutan ke luar negeri juga! Hehe... Ade sekolahnya diundur aja! Biar umurnya tua, jadi aman kalo mau daftar ke sekolah negeri!" kata Zainab menggoda, karena bungsunya itu sudah ingin masuk TK.

"Nah iya, sekolahnya pas udah kakek-kakek, haha..." ledek Lisa yang sudah mulai ceria.

"Haaaa....!" seru Dul melongo, "emang ada kakek-kakek sekolah teka?" tanyanya dengan ekspresi lucu.

"Adaaaa, Ade ntar kakek-kakek yang teka! Hahaaa...," ledek Lisa sambil tertawa, hingga keluar air mata.

"Hehe.. , yaudah deh... Ade di dalam negeri aja, biar Akak nggak sedih lagi!" sahut Dul dengan senyum-senyum.

"Naah, gitu dong! Ayo berpelukan!" kata Zainab sambil merentangkan tangan lebar.

Kedua anaknya itu segera menghambur ke dalam pelukan Zainab. Mereka kembali menatap masa depan dengan optimis.

Tamat.

Jakarta, 28 Juni 2023

Untung ketikannya nggak ilang niii. Ngetiknya kemarin, eh hape mati. Tadi pas buka aplikasi ini, eeh masih nyangkut. Hehe.... yaudah lanjutin dan share.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun