Amel kembali mendengar makian Pak Dika, saat datang ke rumah menjenguk ibu dan adiknya yang baru pulang dari rumah sakit.
"Eh, lu b3go amat, sih? Itu hak lu dan anak-anak, ambil! Kalo perlu aduin aja, biar mereka kena malu!" ujar Pak Dika saat itu dengan keras.
Bu Hani bergeming, dia sudah terbiasa disebut b3go, dan cacian lainnya dari mulut saudaranya itu.
Amel sedikit banyak memahami kekisruhan yang dilakukan ayah dan keluarganya itu. Dia juga melihat debt collector mengambil motor di teras, saat sang ibu tengah berjuang di meja operasi.
Bahkan gadis kecil itu hanya diam membatu, saat sang kakek datang, dan memberi sebuah amplop besar bertuliskan "akte cerai", sambil berpesan, "kalo ibumu pulang, berikan ini! Bilang padanya jangan menginjakkan kaki ke kampung, pokoknya jangan! Kalian itu pembawa sial, yang bikin aku kehilangan anak".
Amel berusaha berdiri tegar demi sang ibu. Dia tak ingin ibunya melihat kesedihannya.
"Bertahanlah, Bu..., kumohon!" desis Amel lirih, "ada saatnya nanti ingin kulihat kau mengangkat wajah yang selalu tertunduk itu..." ujarnya lirih setiap melihat wanita yang melahirkannya itu tertunduk sedih.
Amel sungguh tak percaya. Ibunya itu dim4ki oleh seluruh orang yang disebut "keluarga-saudara". Tak ada satupun yang berkata baik tentang ibunya itu.
Amel sedih sekali melihat situasi berat yang tengah melanda mereka. Kakek dan keluarga dari pihak ayahnya itu datang, bukan untuk menjenguk ibu dan adik laki-lakinya yang baru lahir. Mereka datang hanya untuk mengambil alih seluruh harta bersama kedua orang tuanya.
Amel menatap sendu ke arah sang ibu yang tertunduk sambil tersenyum manis pada Salman. Dia tahu, ibunya itu berusaha tegar di hadapan setiap orang.
"Biarin aja, mungkin mereka lebih butuh!" sahut Bu Hani lemah pada kakak lakinya.