"Dasar b3go!" seru Pak Dika dengan sengit.
Tampak ibunya itu meringis, sambil memegangi perut, yang masih terasa sakit. Sang paman tetap tak ambil pusing, atau merasa kasihan pada saudara perempuannya yang menjanda, pasca ditinggal mati suami dan "dirampok" mertua dan saudara iparnya itu.
"Rumah yang di kampung, tau-tau udah dijual, elu tau?" tanya Pak Dika sambil melotot, "itukan belinya dari uang pesangon lu dulu..., udah gue bilang suami dan mertua lu itu b4jingan!" m4kinya kian marah.
Air mata Bu Hani meleleh, membasahi pipinya. Bibirnya yang pucat bergetar. Dia menahan isakannya, sambil berusaha beristighfar dengan pelan.
"Pa, itu ada akte cerai digantung!" ujar Bu Santi.
"Busyet dah! Bener-bener brengs3k mereka!" seru Pak Dika menggelegar.
Salman yang waktu itu tengah terlelap, langsung menangis keras karena kaget. Bu Hani langsung menyusui bayinya itu. Dia berusaha untuk diam seribu bahasa.
Amel menatap kasihan pada sang ibu.
Waktu berlalu begitu cepat. Salman kini berusia lima tahun, besar tanpa figur sang ayah. Amel berusaha membantu sang ibu dengan menjaga Salman, jika ibunya itu pergi bekerja.
Amel bertekad berusaha mengangkat harga diri ibunya yang selalu diinjak-injak dan selalu dihina. Gadis kecil itu berusaha dan bertekad kuat.
Dalam keterbatasannya, dia selalu meraih prestasi. Hingga dia memperoleh penghargaan beberapa kali.
"Amel, siapa inspirasimu?" tanya seorang wartawan.