Mohon tunggu...
Ersal Bramantyo
Ersal Bramantyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa ITS

Teknik Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Peran keanekaragaman hayati laut dalam menjaga ketahaan pangan wilayah pesisir, tantangan dan strategi pengelolaan berkelanjutan

10 Desember 2024   10:02 Diperbarui: 10 Desember 2024   10:02 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut adalah merupakan salah satu ekosistem terbesar pada bumi yg mempunyai keanekaragaman biologi luar biasa.Sumber daya maritim menyediakan banyak sekali kebutuhan esensial bagi manusia, misalnya pangan, bahan baku, dan jasa ekosistem lainnya. Di Indonesia, menggunakan daerah maritim yg meliputi lebih menurut 70% total luas negara, kemaritiman sebagai penopang primer kehidupan, khususnya bagi warga pesisir. Sektor perikanan, baik tangkap juga budidaya, sebagai asal mata pencaharian primer & berkontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan nasional. Namun, keanekaragaman biologi maritim yg sebagai inti menurut produktivitas ekosistem bahari menghadapi tekanan besar. Overfishing, kerusakan habitat, pencemaran, & perubahan iklim sebagai ancaman primer yg bisa menurunkan kualitas ekosistem bahari.

Penurunan keanekaragaman biologi ini secara pribadi memengaruhi stabilitas & ketersediaan asal daya bahari menjadi asal pangan, terutama bagi warga  yg sangat bergantung dalam output bahari.Ketahanan pangan, yg meliputi aspek ketersediaan, aksesibilitas, & stabilitas asal pangan, sangat ditentukan sang syarat ekosistem maritim. Ketergantungan warga  pesisir dalam asal daya bahari berakibat keanekaragaman biologi maritim menjadi kunci pada menjaga ekuilibrium ekologi & sosial-ekonomi daerah tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya perlindungan & pengelolaan berkelanjutan buat memastikan ekosistem bahari permanen produktif & mendukung kebutuhan pangan warga.

1. Keanekaragaman Hayati Laut

Keanekaragaman hayati laut mencakup seluruh variasi kehidupan di ekosistem laut, termasuk spesies ikan, terumbu karang, mangrove, lamun, dan mikroorganisme. Menurut Costanza et al. (1997), ekosistem laut menyediakan jasa ekosistem utama seperti pengaturan siklus karbon, perlindungan pantai, dan penyediaan makanan. Terumbu karang, misalnya, hanya menutupi kurang dari 1% permukaan laut tetapi mendukung sekitar 25% dari semua spesies laut (Hoegh-Guldberg, 2011).

Keanekaragaman hayati memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekosistem laut. Spesies yang beragam memungkinkan terciptanya ketahanan ekosistem terhadap gangguan, seperti perubahan lingkungan atau eksploitasi berlebih (Tilman, 1999). Dengan kata lain, keanekaragaman hayati bukan hanya elemen estetika, tetapi juga fondasi keberlanjutan ekosistem laut.

2. Ketahanan Pangan Wilayah Pesisir

Ketahanan pangan didefinisikan oleh FAO (1996) sebagai kondisi di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi yang cukup terhadap makanan bergizi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Di wilayah pesisir, ketahanan pangan sangat bergantung pada hasil tangkapan laut, seperti ikan, udang, dan kerang (Allison et al., 2009).

Bagi masyarakat pesisir di Indonesia, laut adalah sumber utama protein hewani. Menurut KKP (2022), lebih dari 50% kebutuhan protein di wilayah pesisir Indonesia berasal dari ikan. Namun, perubahan pola tangkapan akibat degradasi ekosistem dan perubahan iklim mengancam keberlanjutan suplai pangan. Hal ini menunjukkan hubungan erat antara keanekaragaman hayati laut dan ketahanan pangan di wilayah pesisir.

3. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati Laut

Keanekaragaman hayati laut menghadapi berbagai ancaman, baik dari aktivitas manusia maupun faktor lingkungan.

  • Overfishing: Aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan telah menyebabkan penurunan populasi ikan secara drastis di beberapa wilayah perairan Indonesia, seperti di Laut Jawa (Pauly et al., 2020).
  • Kerusakan Habitat: Aktivitas seperti reklamasi, penambangan pasir laut, dan penggunaan alat tangkap destruktif merusak ekosistem penting seperti terumbu karang dan mangrove (Burke et al., 2011).
  • Pencemaran Laut: Sampah plastik dan limbah industri telah mencemari perairan dan mengganggu siklus kehidupan biota laut. Laporan Jambeck et al. (2015) menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang terbesar sampah plastik di lautan.
  • Perubahan Iklim: Naiknya suhu laut dan pengasaman laut mengancam ekosistem sensitif seperti terumbu karang (IPCC, 2019).

4. Pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan

Pengelolaan berkelanjutan diperlukan untuk memastikan keanekaragaman hayati laut tetap mendukung ketahanan pangan. Beberapa pendekatan yang telah diusulkan meliputi:

  • Kawasan Konservasi Laut: Penetapan kawasan konservasi laut terbukti efektif dalam melindungi spesies kunci dan meningkatkan biomassa ikan di dalam kawasan tersebut (Edgar et al., 2014).
  • Restorasi Ekosistem: Upaya restorasi seperti transplantasi terumbu karang dan rehabilitasi mangrove dapat memperbaiki ekosistem yang rusak (Spalding et al., 2014).
  • Penguatan Kebijakan: Implementasi kebijakan seperti moratorium alat tangkap destruktif dan peraturan zonasi laut dapat membantu mengurangi tekanan pada sumber daya laut (KKP, 2022).
  • Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya laut, seperti melalui sistem adat sasi di Maluku, telah menunjukkan keberhasilan dalam konservasi dan keberlanjutan perikanan (Novaczek et al., 2001).
  • Hubungan Keanekaragaman Hayati Laut dengan Ketahanan Pangan

Keanekaragaman hayati laut memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan, terutama di wilayah pesisir. Berdasarkan data dari KKP (2022), wilayah pesisir yang memiliki ekosistem terumbu karang dan mangrove yang sehat menunjukkan hasil tangkapan ikan yang lebih stabil dibandingkan wilayah yang mengalami degradasi ekosistem. Sebagai contoh, di Raja Ampat, Papua, keberadaan terumbu karang yang terjaga tidak hanya mendukung keanekaragaman spesies ikan tetapi juga menyediakan sumber pangan utama bagi masyarakat setempat.

Ekosistem mangrove di pesisir Sumatera Utara juga memberikan kontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan lokal dengan menyediakan habitat bagi spesies ikan dan udang. Penelitian menunjukkan bahwa 70% spesies komersial di kawasan tersebut bergantung pada mangrove selama siklus hidupnya (Spalding et al., 2014). Dengan demikian, keanekaragaman hayati tidak hanya berfungsi sebagai sumber makanan langsung tetapi juga memastikan keberlanjutan stok ikan melalui perannya dalam siklus hidup biota laut.

2. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati dan Implikasinya terhadap Ketahanan Pangan

Degradasi keanekaragaman hayati laut memberikan dampak langsung terhadap ketersediaan dan stabilitas sumber pangan. Ancaman utama meliputi:

1. Overfishing

Overfishing atau penangkapan ikan berlebihan adalah ancaman utama bagi keanekaragaman hayati laut. Aktivitas ini mengurangi populasi ikan secara drastis, termasuk spesies target (ikan pelagis seperti tuna dan cakalang) serta spesies yang tidak sengaja tertangkap (bycatch).

  • Data Pendukung:
    Menurut FAO (2021), lebih dari 33% stok ikan dunia telah berada dalam kondisi overexploited. Di Indonesia, Laut Jawa menunjukkan tanda-tanda penurunan stok ikan pelagis kecil, seperti kembung dan lemuru, dengan penurunan hasil tangkapan mencapai 40% dalam dua dekade terakhir (Pauly et al., 2020).
  • Implikasi terhadap Ketahanan Pangan:
    Overfishing langsung memengaruhi ketersediaan pangan masyarakat pesisir. Penurunan populasi ikan berarti berkurangnya akses terhadap sumber protein hewani yang penting bagi kesehatan masyarakat. Selain itu, pendapatan nelayan kecil juga menurun, yang secara tidak langsung memengaruhi kemampuan ekonomi mereka untuk membeli makanan lain.

=

2. Kerusakan Habitat Laut

Habitat laut seperti terumbu karang, mangrove, dan lamun memainkan peran penting sebagai tempat pemijahan, pembesaran, dan perlindungan ikan. Namun, aktivitas manusia sering kali merusak habitat ini.

  • Faktor Kerusakan:

    • Penggunaan alat tangkap destruktif: Praktik seperti penangkapan ikan dengan bom dan racun (potasium) menghancurkan struktur terumbu karang.
    • Reklamasi pantai: Pembangunan di wilayah pesisir untuk infrastruktur seperti pelabuhan atau pariwisata telah menghilangkan kawasan mangrove.
    • Pertambangan pasir laut: Aktivitas ini merusak dasar laut yang menjadi habitat biota bentik.
  • Data Pendukung:
    Burke et al. (2011) mencatat bahwa 60% terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi terancam, dengan Teluk Jakarta sebagai salah satu wilayah yang paling parah terdampak.
  • Implikasi terhadap Ketahanan Pangan:
    Kerusakan habitat mengurangi produktivitas ekosistem laut. Dengan terumbu karang yang rusak, ikan kehilangan tempat berlindung dan berkembang biak, sehingga populasi mereka menurun. Hal ini mengakibatkan ketidakstabilan hasil tangkapan ikan, yang berdampak langsung pada ketersediaan pangan masyarakat pesisir.

3. Pencemaran Laut

Pencemaran laut, khususnya oleh limbah plastik dan polutan kimia, mengancam keanekaragaman hayati laut. Sampah plastik dapat menyebabkan kerusakan fisik pada biota laut, sementara polutan kimia seperti logam berat dan pestisida mencemari rantai makanan laut.

  • Data Pendukung:

    • Jambeck et al. (2015) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina, dengan sekitar 1,29 juta ton sampah plastik masuk ke laut setiap tahun.
    • Studi oleh KKP (2022) menunjukkan bahwa 30% ikan yang ditangkap di wilayah pesisir Jawa Timur mengandung mikroplastik, yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
  • Implikasi terhadap Ketahanan Pangan:

    • Pencemaran plastik dan kimia menurunkan kualitas pangan laut. Konsumsi ikan yang terkontaminasi dapat membahayakan kesehatan masyarakat, mengurangi keamanan pangan di wilayah pesisir.
    • Penurunan kepercayaan konsumen terhadap hasil tangkapan laut dapat menurunkan nilai ekonomi sektor perikanan.

4. Perubahan Iklim

Perubahan iklim memengaruhi keanekaragaman hayati laut melalui peningkatan suhu laut, pengasaman laut, dan naiknya permukaan air laut.

  • Dampak Fisik:

    • Peningkatan suhu laut: Mengakibatkan pemutihan terumbu karang secara masif. Sebagai contoh, selama peristiwa El Nio 2016, terumbu karang di Indonesia mengalami pemutihan hingga 90% (WWF, 2016).
    • Pengasaman laut: Penyerapan karbon dioksida oleh laut mengurangi pH air laut, yang mengganggu kemampuan organisme seperti karang dan moluska untuk membentuk cangkang.
  • Data Pendukung:
    IPCC (2019) mencatat bahwa suhu laut global telah meningkat rata-rata 0,13C per dekade sejak tahun 1901. Di Indonesia, wilayah terumbu karang seperti Wakatobi dan Raja Ampat menghadapi ancaman pemutihan jika suhu laut terus meningkat.
  • Implikasi terhadap Ketahanan Pangan:

    • Pemutihan karang dan degradasi ekosistem laut mengurangi populasi ikan yang bergantung pada terumbu karang untuk tempat tinggal dan makanan.
    • Perubahan pola migrasi ikan akibat suhu yang lebih hangat membuat nelayan kecil kesulitan menangkap ikan, yang berdampak langsung pada stabilitas pangan masyarakat pesisir.

Ringkasan Implikasi

Ancaman-ancaman tersebut tidak hanya merusak ekosistem laut tetapi juga berdampak sistemik pada ketahanan pangan, khususnya di wilayah pesisir. Penurunan stok ikan, kerusakan habitat, dan pencemaran menyebabkan:

  1. Berkurangnya ketersediaan protein hewani yang terjangkau.
  2. Ketidakstabilan ekonomi nelayan kecil akibat menurunnya hasil tangkapan.
  3. Risiko kesehatan masyarakat akibat konsumsi makanan laut yang tercemar.

Diperlukan langkah konkret untuk mengatasi ancaman-ancaman ini agar keanekaragaman hayati laut tetap dapat mendukung ketahanan pangan masyarakat pesisir.

.

3. Strategi Pengelolaan Berkelanjutan

Untuk mengatasi ancaman dan menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati laut, beberapa strategi pengelolaan yang dapat diterapkan meliputi:

  1. Penetapan Kawasan Konservasi Laut:
    Kawasan konservasi laut seperti Taman Nasional Wakatobi telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan biomassa ikan hingga 150% dibandingkan wilayah tidak terlindungi (Edgar et al., 2014). Hal ini menunjukkan pentingnya kawasan konservasi dalam menjaga ekosistem laut yang sehat.
  2. Restorasi Ekosistem:
    Upaya restorasi seperti transplantasi terumbu karang di perairan Bali telah berhasil meningkatkan populasi ikan hingga 30% dalam kurun waktu lima tahun. Rehabilitasi mangrove juga memberikan dampak positif dengan menyediakan habitat bagi spesies komersial seperti udang dan ikan kerapu.
  3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal:
    Model pengelolaan berbasis tradisional seperti sasi di Maluku menunjukkan keberhasilan dalam mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan. Sistem ini mengatur kapan dan bagaimana sumber daya laut dapat dieksploitasi, sehingga memungkinkan regenerasi populasi ikan (Novaczek et al., 2001).
  4. Peningkatan Regulasi dan Teknologi:
    Implementasi teknologi seperti sistem pemantauan kapal berbasis satelit (VMS) dapat membantu mengurangi perikanan ilegal. Selain itu, penguatan regulasi terhadap penggunaan alat tangkap destruktif dapat melindungi habitat sensitif seperti terumbu karang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun