Remaja atau Adolescence berasal dari kata latin adolescare yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Artinya masa remaja ini merupakan masa transisi atau peralihan dari anak- anak menuju dewasa. Menurut (Notoatmojo, 2007) masa remaja dimulai dari usia 10- 13 tahun dan berakhir pada usia 18- 22 tahun. Pada masa ini, anak- anak mengalami pertumbungan dan perkembangan dadi segi fisik maupun psikis. Segi fisik meliputi perubahan secara biologis sedangkan psikis meliputi sikap, cara berfikir dan bertindak. Masa remaja merupakan masa dimana adanya perubahan yang terbilang cepat baik dari aspek kognitif, emosional, dan sosial. Akan tetapi, seringkali proses pematangan fisik dan emosional pada masa ini menimbulkan berbagai masalah. Remaja merasa dirinya dewasa secara fisik, ia cenderung ingin bebas dan mandiri. Namun disisi lain mereka masih membutuhkan bantuan, dukungan, serta perlindungan dari orang tuanya. Remaja memiliki tugas- tugas perkembangannya sendiri, menurut Havighust dalam (Hurlock, 1999) diantaranya yaitu:
- Mencapai hubungan yang lebih matang dengan pria maupun wanita.
- Mencapai peran sosial.
- Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara aktif.
- Berperilaku sosial yang bertanggung jawab.
- Mencapai kemandirian emosional dari orang tua ataupun sekitarnya.
- Mempersiapkan karir, ekonomi, keluarga, serta perkawinan.
Dalam mencapai tugas perkembangan, biasanya remaja menghadapi berbagai permasalahan karena ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan tersebut. Problematika pada remaja penting untuk diketahui karena berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi remaja baik problematik dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya.
Penulis pernah melakukan observasi terkait problematika yang terjadi pada remaja kelas 6 SD pada salah satu sekolah dasar. Pada saat jam istirahat, observer melakukan pengamatan pada lingkungan sekolah. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu catatan anekdot dan wawancara. Observer malakukan pencatatan secara langsung pada kejadian yan diamati. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan problematika yakni agresif verbal “ Berkata Kasar”. Agresi verbal dalam (Nurani, 2020) merupakan perbuatan melukai orang lain menggunakan verbal atau perkataan, misalnya mencaci, berkata kasar, berdebat, meyebar gosip, dll.
Bahasa kasar (Armita, 2022) merupakan Bahasa yang tidak pantas diucapkan karena dianggap tidak baik dan menyimpang dari aturan suatu lingkungan berbahasa. Jenis bahasa kasar yang sering diucapkan ada tiga yakni profanity (mempermainkan kata- kata suci seperti Tuhan), cursing (menyumpahi orang seperti terkutuk, biadab, bajingan, goblok), obscenity (kata yang menggunakan konotasi sexual atau mengejek seperti gila, idiot, ataupun menyebutkan alat kelamin pria maupun wanita).
Peneliti juga melakukan wawancara pada siswa yang berperilaku agresif “berkata kasar”. Berdasarkan hasil wawancara dihasilkan faktor penyebab subjek berperilaku agresif yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri. Jika dikaji berdasarkan tahap perkembangan Erikson, dalam buku Psikologi Pendidikan (Nursalim, 2019) faktor internal yang pertama yakni individu berada pada tahap indentitas versus kekacauan identitas yang berada pada usia 12- 20 tahun. Menurut Erikson, individu pada tahap ini sudah memiliki kemampuan yang cukup matang. Mereka berusaha untuk memperlihatkan identitas dirinya.
Dalam (Rusuli, 2022) yang dimaksud dengan identitas adalah konsep tentang diri yang koheren yang terdiri dari tujuan, nilai dan keyakinan yang menjadi komitmen kuat seseorang. Dalam tahap ini remaja memiliki tugas utama yaitu memecahkan krisis identitas dan kebingungan identitas. Seorang remaja akan mencoba banyak hal baru dalam hidupnya untuk menemukan identitas mereka yang sebenarnya. Akan tetapi, terkadang individu menggunakan cara yang ekstrem atau berlebihan dalam memperlihatkan identitasnya. Mereka akan memilih melakukan hal- hal yang menyimpang agar mendapatkan identitas, walaupun sebenarnya yang diperoleh adalah identitas yang negatif.
Kemudian yang kedua yaitu Kontrol diri yang lemah (weakness of self control). Mereka sulit mengarahkan dan mengendalikan perilakunya sehingga mengalami ketidakstabilan emosi, mudah marah, frustasi, dan kurang peka terhadap lingkungan sosialnya. Ketika menghadapi masalah, individu cenderung melarikan diri atau menghindarinya, bahkan lebih suka menyalahkan orang lain.
Selain faktor internal, terdapat faktor eksternal yang menjadi penyebab terbentuknya perilaku agresivitas remaja. faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu (lingkungan). Misalnya seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pertemanan. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi seorang anak. Hal ini berkaitan dengan pola asuh orang tua.
Menurut (Ikhsan & Danial, 2020) pengaruh kepribadian seorang remaja berasal dari keluarga karena kebersamaan bersama orangtua lebih besar dari pada intensitas pertemuannya dengan pihak lain. Dengan ini dapat dikatakan bahwa perilaku berkata kasar pada anak merupakan proses belajarnya dari orangtua.
Orangtua yang berkata kasar saat dirumah bisa jadi bentuk percontohan bagi anaknya. Selain itu, lingkungan pertemanan juga berpengaruh karena masa remaja merupakan masa dimana anak mulai mengeksplorasi sehingga masih ditahap berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini dapat menyebabkan individu mencontoh perilaku temannya yang kurang baik, termasuk agresivitas verbal. Selain itu, media sosial juga bisa menjadi penyebab individu berkata kasar. Banyak sekali tontonan di media sosial, seperti youtube, Instagram, tiktok, yang memuat konten berkata kasar. Karena keseringan ditonton, dapat mengakibatkan proses belajar bagi individu sehingga diterapkan pada kehidupannya sehari- hari.
Moore dan Fine dalam Koeswara (1998: 5) yang mengungkapkan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu lain ataupun objek. Dengan kata lain, perilaku berkata kasar dapat dikatakan perilaku agresif karena merupakan tindakan melukai orang lain secara verbal. Perilaku berkata kasar merupakan suatu pentimpangan perilaku ada yang tanpa korban (without victims) dan ada juga yang menimbulkan korban. Berkata kasar yang menimbulkan korban artinya pelaku penyimpangan bisa saja membuat orang lain sakit hati karena perkataan yang ia lontarkan. Terkadang perkataan kasar juga dapat memicu terjadinya pertengkaran dan perkelahian apabila seseorang yang mendapatkan perkataan kasar tidak terima.
Maka dari itu sebagai guru dan orang tua sudah seharusnya memberikan penanganan pada individu yang mengalami problematika tersebut. Sebagai guru wali kelas ataupun guru BK sudah semestinya memberikan penanganan berupa layanan konseling dalam mengatasi permasalahan tersebut. Guru BK dapat memberikan konseling menggunakan pendekatan, seperti behavior ataupun cognitive behavior. Pendekatan behavior dapat diberikan apabila terdapat perilaku yang ingin dirubah sesuai dengan apa yang dikehendaki. Namun apabila terdapat kesalahan kognitif individu, guru BK dapat menerapkan cognitive behavior therapy. Selain peran guru, individu juga memerlukan peran orang tua dalam memberikan dukungan dalam mengubah perilaku individu. Dengan diberikan penanganan yang tepat, individu akan dapat mengubah perilakunya dan menjadi individu yang berkembang secara optimal sesuai dengan tugas perkembangannya.
Referensi:
Armita, D. (2022). Bahasa Kasar (Abussive Language) Dan Dampaknya Bagi Perkembangan Perilaku Anak Di Desa Pelem. IAIN Ponorogo.
Hurlock, Elizabeth, B. (1999). Psikologi Perkembangan: “ Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan” (Terjemahan Istiwidayanti & Soedjarno). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ikhsan, M. G., & Danial, E. (2020). Role of Student Brawl and Deliquency Task Force in
Managing Problems of Juvenile Deliquency in Sukabumi District. 2nd Annual Civic
Education Conference (ACEC 2019), 165–174
Notoadmojo, S. (2011). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
Nurani, W., Saputra, W. N. E., Mu’arifah, A., & Barida, M. (2020). Bimbingan kedamaian: Implementasi pendidikan kedamaian dalam seting bimbingan untuk mereduksi agresivitas. In Webinar) Seminar Nasional Pendidikan (Vol. 1, No. 1, pp. 178-192).
Nursalim, Mochamad. (2019). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Koeswara. (1998). Agresi Manusia. Bandung: Erasco.
Rusuli, I. (2022). PSIKOSOSIAL REMAJA: SEBUAH SINTESA TEORI ERICK
ERIKSON DENGAN KONSEP ISLAM. Jurnal As-Salam, 6(1), 75–89.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H