Mohon tunggu...
Erry M Subhan
Erry M Subhan Mohon Tunggu... Lainnya - Fotografer/Videografer Freelance, Kontributor untuk beberapa agensi Photo Stock

Suka jalan-jalan menyambangi daerah-daerah dan bertemu dengan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Suku Baduy Dalam dan Peralatan Modern

7 Januari 2025   11:41 Diperbarui: 7 Januari 2025   11:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelas Bambu Khas BaduyI (Sumber: dokumen pribadi)

Dari kejauhan desa Cibeo sudah mulai terlihat. Sebuah jembatan bambu berdiri diatas sebuah sungai yang merintangi jalan menuju desa.

Waktu belum lagi sore saat kami tiba di Cibeo. Perjalanan yang kami mulai selepas makan siang di desa Cijahe berjalan lancar dan mengasyikkan. Rekan saya, Yoyok membawa seekor anak kucing yang dia gendong di tas ranselnya.

Anak kucing yang lucu itu dia bawa dari sebuah tempat makan di pinggir jalan. Sendirian tanpa ada saudara dan induknya membuat Yoyok iba dan memutuskan untuk membawanya pulang.

Khawatir si anabul tidak terjamin makan minumnya, Yoyok memutuskan untuk membawanya ke Baduy. Si Oyen, begitu Yoyok menamainya karena bulunya berwarna orange, begitu lucu dan menggemaskan. Selama perjalanan baik di mobil atau selama berjalan kaki dia begitu tenang tidak merepotkan.

Kali ini perjalanan saya ke Baduy Dalam untuk mengantar seorang teman yang berprofesi sebagai dokter umum.

Beberapa waktu sebelumnya sang dokter menyampaikan keinginannya pada saya untuk menyambangi Baduy Dalam. Dengan senang hati saya menyanggupi dengan syarat beliau mau mengobati salah satu warga desa Cibeo yang sakit.

Sebelumnya saya mendapat kabar seorang kenalan saya di Cibeo sakit. Sebuah kesempatan emas bila ada dokter yang berkunjung bisa sekalian mengobati kenalan saya itu. Gayung bersambut, dr Riza tidak keberatan, maka berangkatlah kami.

Kami masuk lewat jalur Cijahe karena jarak dan waktu tempuhnya lebih bersahabat dibanding jalur Ciboleger. Bila lewat jalur Ciboleger memakan waktu 3-4 jam berjalan kaki, maka lewat jalur Cijahe hanya 1-1,5 jam saja.

Di Cibeo kami menginap di rumah Kang Jakri. Setelah sebelumnya kami mendapat tawaran menginap di rumah teman-teman saya yang lain. Namun saya memutuskan untuk menginap di rumah Kang Jakri karena posisi rumahnya yang paling dekat dengan sungai.

Sungai bisa kita anggap sebagai kamar mandi atau toilet. Agar tidak merepotkan dalam urusan buang air kecil dan urusan lainnya maka jarak ke sungai jangan terlalu jauh.

Sore itu dr Riza memutuskan untuk memeriksa warga yang sakit. Saya dan beberapa warga lain ikut menemani.

Kami berbincang soal penyakit, kesehatan dan obat obatan. Suku Baduy Dalam lebih mengutamakan obat-obat herbal dalam penyembuhan. Ilmu yang diwarisi nenek moyang mereka secara turun temurun.

Namun belakangan mulai banyak kasus dimana penyakit yang diderita warga tak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan obat dari tumbuh-tumbuhan yang ada disana.Celakanya beberapa kasus menyebabkan kematian.

Seperti yang pernah saya jumpai beberapa waktu sebelumnya. Seorang anak meninggal karena diare.

Dari soal herbal obrolan beralih ke obat-obat modern lalu berlanjut lagi membahas alat-alat modern.

Orang Baduy Dalam yang setia dengan pola hidup yang telah digariskan leluhur mereka ratusan tahun lalu tentu tidak memiliki peralatan modern. Hukum adat melarang mereka memilikinya. Tidak ada peralatan yang berbau teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Tidak ada aliran listrik. Bahkan masyarakat Baduy meminta pada pemerintah agar tidak ada sinyal telekomunikasi di wilayah mereka.

Kita mungkin sulit membayangkan hidup tanpa komputer, laptop, televisi atau handphone. Entah bagaimana rasanya hidup tanpa benda-benda itu semua.

Tergelitik oleh rasa ingin tahu saya bertanya pada Kang Jasrip, seorang warga Baduy Dalam yang sering bertandang ke rumah saya.

" Kang Jasrip, handphone ini kan memudahkan kita dalam urusan sehari-hari, apakah kalian tak pernah terpikir untuk memiliki ?" tanya saya sambal membolak balik HP milik saya.

Kang Jasrip yang saat itu usianya masih sekitar 30 an sambil tersenyum dengan tenang menjawab.

" Pak, kalau saya punya HP ini pasti nantinya saya akan ingin punya yang lain. Laptop misalnya. Lalu saya ingin punya yang lain lagi, begitu terus tidak ada habisnya." Suaranya begitu tenang tanpa ada nada menggurui.

Seketika itu saya terdiam, mencoba merenungi ucapan Kang Jasrip. Pandangan saya tertuju pada gelas bambu berisi kopi. Sedikit mulai menyadari alasan kenapa mereka hidup begitu bersahaja tanpa terpengaruh kemajuan teknologi.

Sepertinya mereka tak hendak terjebak dalam nafsu memiliki yang bisa mendorong mereka untuk memuaskan nafsu besar lainnya.

Hingga kami pulang keesokan harinya, ucapan kang Jasrip masih terngiang di telinga. Di ujung jembatan saya menapakkan kaki ke sisi sungai. Di sisi lainnya adalah desa Cibeo yang akan kami tinggalkan. Tampak si Oyen dipelukan Kang Sanip menghantar kepulangan kami.

Kang Sanip jatuh cinta pada si Oyen dan minta izin pada Yoyok untuk mengadopsinya. Yoyok berpikir Oyen akan lebih baik tinggal bersama orang-orang yang sangat menghargai alam dan berpikiran seperti kaum sufi. See You Oyen.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun