" Pak, kalau saya punya HP ini pasti nantinya saya akan ingin punya yang lain. Laptop misalnya. Lalu saya ingin punya yang lain lagi, begitu terus tidak ada habisnya." Suaranya begitu tenang tanpa ada nada menggurui.
Seketika itu saya terdiam, mencoba merenungi ucapan Kang Jasrip. Pandangan saya tertuju pada gelas bambu berisi kopi. Sedikit mulai menyadari alasan kenapa mereka hidup begitu bersahaja tanpa terpengaruh kemajuan teknologi.
Sepertinya mereka tak hendak terjebak dalam nafsu memiliki yang bisa mendorong mereka untuk memuaskan nafsu besar lainnya.
Hingga kami pulang keesokan harinya, ucapan kang Jasrip masih terngiang di telinga. Di ujung jembatan saya menapakkan kaki ke sisi sungai. Di sisi lainnya adalah desa Cibeo yang akan kami tinggalkan. Tampak si Oyen dipelukan Kang Sanip menghantar kepulangan kami.
Kang Sanip jatuh cinta pada si Oyen dan minta izin pada Yoyok untuk mengadopsinya. Yoyok berpikir Oyen akan lebih baik tinggal bersama orang-orang yang sangat menghargai alam dan berpikiran seperti kaum sufi. See You Oyen.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H