Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pilkada: Petugas TPS Bikin Drama, Nyaris Hanguskan Hak Suara

28 November 2024   02:06 Diperbarui: 28 November 2024   02:48 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelingking ungu tanda sudah ikut nyoblos. Suara nyaris hangus. (Sumber: Erry Yulia Siahaan/dokumentasi pribadi)

Lagu lama. Petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) bikin ulah dan nyaris menghanguskan hak suara pemilih tetap.

Kejadian ini terjadi di Cibinong, Bogor. Tepatnya, di salah satu TPS di perumahan tempat saya tinggal. Seorang warga yang datang ke TPS serta merta ditolak oleh seorang petugas yang mengaku pimpinan di TPS itu. Alasannya, sudah lewat dari jam 12 siang. Warga tersebut merasa yakin bahwa informasi yang diperolehnya selama ini cukup valid, bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) bakal berlangsung hingga pukul satu siang. Jadi, kedatangannya yang masih jam 12 siang lewat beberapa menit adalah sah.

Warga itu adalah seorang ibu lanjut usia. Dia sudah sempat menandatangani buku daftar hadir. Nomor 125. Sementara putranya yang sudah berdiri di belakangnya (usai memarkirkan motor) sudah siap membubuhkan tanda tangan, sesuai arahan petugas di balik meja.

"Siapa namanya?" kata petugas pendaftaran yang juga seorang ibu.

Si pemuda menyebutkan namanya. Baru saja nomor pemuda itu ditemukan di buku pendaftaran, tiba-tiba seorang bapak keluar dari ruangan tempat bilik-bilik suara.

"Eh eh... apa ini? Apa?" tanyanya kepada petugas perempuan itu.

"Mau nyoblos, Pak," kata si petugas. "Ini ada suratnya," tambahnya seraya memperlihatkan surat undangan ke TPS yang dibawa oleh warga dan sudah diserahkan di meja pendaftaran.

"Tidak bisa. Sudah lewat dari jam 12," kata si petugas dengan suara keras. "Jangan. Nggak bisa lagi."

"Loh, kan sampai jam 13, Pak," kata warga tersebut.

"Dari jam delapan sampai jam 12, Bu. Jam 12 sampai jam satu itu untuk yang bukan pemilih tetap," kata si petugas.

Suaranya keras. Membuat petugas di meja pendaftaran jadi serba salah.

"Jadi, bagaimana ini, Pak?" tanyanya. "Sudah tanda tangan."

"Hapus," kata petugas itu seraya menambahkan, dia harus taat pada peraturan supaya tidak dimarahi.

Si ibu tidak mau berpanjang-panjang, karena masih ada beberapa urusan lain yang harus dikerjakan hari itu, termasuk harus ke Jakarta. Dia menolak menghapusnya pakai tip-ex dan memilih mencoret sendiri tandatangannya dengan pulpen.

"Ya, sudah. Ayo, De," kata si ibu kepada putranya.

Terdengar si petugas masih bergumam, "dari tadi bukannya datang."

Sekali lagi, si ibu tidak mau berlama-lama. Dia cuma menimpali dengan "whatever" sembari berjalan menuju motor.

Kedua warga yang sudah 20 tahun tinggal di kompleks itu segera pergi ke rumah kerabat mereka di salah satu blok, dengan harus melalui taman kompleks di mana ada dua TPS lain berdiri di sana.

"Nanti kita mampir ke TPS itu, ya, De," kata si ibu. Dia secepatnya menyelesaikan keperluannya dengan kerabatnya dan sempat menanyakan apakah benar pelayanan di TPS hanya sampai pukul 12 siang. Kerabatnya bilang, "nggak ah. Sampai jam 13."

Ibu itu kemudian diisarankan bertanya juga ke petugas di TPS di taman dan hal itulah yang dilakukan oleh si ibu kemudian.

Jawaban serupa diperolehnya dari petugas di TPS di taman. Bahkan, kepada si ibu, petugas itu memperlihatkan ketentuan tertulis yng menjadi pegangan petugas-petugas di TPS, setidaknya di kompleks itu. Ketentuan yang dibacakannya dengan bersuara itu tertera sebagai salah satu isi chat di salah satu grup WhatsApp (WA) di telepon selulernya.

Dia kemudian meneruskan pesan itu ke nomor WA si ibu. Tertulis demikian:

Kategori pemilih ada 3 :
1.DPT : Yaitu pemilih yang terdaftar sesuai dengan alamat dan TPS masing masing waktu memilih pukul 07.00. s/d 13.00 wib .
2.DPTB (Daftar Pemilih Tambahan) : Yaitu pemilih yang terdaftar di luar, tetapi yang bersangkutan telah mengurus pindah memilih kepada PPS/PPK/KPU dengan mendapat surat pindah memilih dan mendapatkan form model A5 yang di keluarkan oleh PPS/PPK/KPU waktu mencoblos untuk DPTB PUKUL 11.00 WIB s/d 13.00 WIB
3.DPK (Daftar pemilih khusus) yaitu pemilih yang tidak terdaftar namun  usia nya memasuki 17 tahun s/d tanggal 27 November 2024, atau pensiunan TNI/Polri yang belum terdaftar di DPT dengan membawa KTP/Suket/Resi/surat pensiunan terbaru waktu memilih untuk DPK pukul 12.00 WIB s/d 13.00 WIB

Hal ini membuat si ibu bersemangat kembali lagi ke TPS tadi. Dia menyalakan video pada telepon genggamnya sembari dibonceng motor oleh anaknya. Seturunnya dari motor, melihat si petugas tadi berdiri di depan ruangan di sisi meja pendaftaran, si ibu sembari mengarahkan kamera kepadanya berujar tegas, "Pak, saya sudah tanya ke TPS di taman, ternyata memang sampai jam 13. Kalaupun ada ketentuan seperti yang Bapak bilang dari jam 12 sampai jam 13 untuk yang bukan pemilih tetap, itu tidak serta merta meniadakan hak pemilih tetap."

Petugas tadi sudah tidak segalak sebelumnya. "Sebentar, ya, Bu, saya telepon dulu."

Si ibu masih mengarahkan kamera ke arah petugas yang bertelepon. Seorang petugas yang lain mempersilakan si ibu supaya duduk. "Jangan marah, Bu."

"Saya tidak marah," kata si ibu.

"Ini mah masalah kecil, Bu," katanya lagi. Nah, pas di bagian ini si ibu merespon tegas.

"Wah, saya tidak suka ya Bapak berkata seperti itu. Jangan main-main, Pak. Satu suara itu berarti banget," kata si ibu kepada petugas yang masih relatif muda itu -- yang kemudian (setelah petugas itu bertanya si ibu dari RT berapa) diketahuinya sebagai Ketua RT-nya yang baru.

"Oh, jadi kasih aja, ya, Pak. Baik, Pak," kata si petugas yang bertelepon tadi. 

"Silakan, Bu. Boleh, sampai jam 13," tambahnya.

Sebentar saja si ibu dan anaknya segera menandatangani buku daftar ulang pemilih, masuk ke bilik suara, dan mencoblos dua kertas suara yang diterima.

Si petugas yang mengaku pimpinan TPS itu untuk kesekian kalinya memohon agar si ibu menghapus video dan foto hasil bidikannya. Tentu saja si ibu menolak karena dia tahu betul bahwa tidak ada larangan bagi publik untuk merekam peristiwa di TPS. Bukankah itu bagian yang baik untuk memberikan umpan balik bagi perbaikan Pilkada?

Sambil tersenyum dan menerima ucapan maaf dari petugas, si ibu yang tak suka dengan ribut-ribut dan debat tak mutu itu selekasnya berlalu dari situ. Dia diantar ke Stasiun Cibinong oleh anaknya untuk kemudian naik komuter menuju rumah adiknya di Jakarta.

Sebelum meninggalkan TPS, si ibu dan anaknya masih sempat menyaksikan sejumlah warga berdatangan ke TPS. Entah itu pemilih tetap yang senasib dengan dirinya dan sudah sempat pulang ataukah mereka bukan pemilih tetap yang memang baru kan dilayani pada pukul 12 sampai 13 siang seperti ketentuan yang diucapkan oleh petugas yang mengaku pimpinan di TPS itu.

Si ibu kembali ke rumahnya sekitar pukul setengah sebelas malam, dijemput oleh anaknya. Setelah selesai membereskan keperluan untuk tugas pagi hari, si ibu segera masuk kamar dan menuliskan diary ini. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun