"Bukan saya, Mem. Saya cuma menemukannya," kata Grasea pelan.Â
Melihat sikap keras orangtua Grasea, Mem Lia selekasnya dan dengan tenang mengakhiri pertemuan.
Guru-guru kembali menggelar rapat. Mereka memutuskan untuk mengambil langkah lebih serius karena menyangkut kredibilitas sekolah. Surat itu divisum oleh lembaga Grafonomi Indonesia, badan autentifikasi tulisan dan tanda tangan. Suami Bu Masri adalah polisi. Laboratorium Pusat Forensik Kepolisian, katanya, mempercayai lembaga itu untuk kasus-kasus pemalsuan dokumen dan surat kaleng.
Seminggu kemudian, hasil visum keluar. Dipastikan, huruf-huruf pada surat adalah milik Grasea.
Orangtua Grasea kembali dipanggil. Mereka terdiam membaca hasil visum. Sejak datang, mereka tak banyak bicara. Mereka sadar ada sanksi berat untuk itu. Grasea bisa dikeluarkan dari sekolah, bahkan dipidana.Â
Mereka meminta maaf kepada sekolah, khususnya Mem Lia dan Bu Elly. Grasea menyesali perbuatannya. Juga kebohongannya pada Mem Lia, guru idolanya sejak kelas satu. Dalam hati dia berjanji menjadi anak yang lebih baik. Jujur. Rajin.Â
***
Pada Kamis, hari bakal terjadinya teror, seluruh warga sekolah bersiaga. Grasea diam-diam mengambil tas plastik berisi sebotol minyak tanah dan pemantik api. Kresek itu tergantung di jeruji pagar taman belakang, tertutup pandang oleh pohon kelor yang dua tahun lalu ditanamnya bersama Mem Lia dan teman-teman.
Ayah Grasea menemukan tas itu di kamar Grasea ketika putrinya sedang mandi. Ketika mencium tangan ayahnya sepulang sekolah, aroma minyak tanah tercium di rumah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H