"Pagi, Mem," sapa Bu Elly di gerbang sekolah kepada guru Bahasa Inggris. Lengkapnya, "Ma'am Lia". Kata "Ma'am" berasal dari "Madam" yang berarti ibu, perempuan yang telah menikah atau yang patut dihormati. Namun, para guru dan orangtua murid terbiasa memanggil atau menuliskan namanya sebagai "Mem Lia".
Mem Lia meminta dirinya dipanggil "Ma'am" untuk memperkenalkan dan membiasakan sebutan itu di sekolah. Jadi, tidak hanya "Miss" seperti selama ini.Â
"Selamat pagi."
"Mem, jangan lupa nanti kita rapat. Anak-anak pulang cepat," kata guru Budi Pekerti itu.
"Siap."
Pagi itu, para murid dipersilakan pulang lebih awal, tepatnya setelah jam istirahat kedua. Guru-guru akan menggelar pertemuan terkait surat kaleng temuan Grasea.
Disebut surat kaleng, karena nama penulis dianggap meragukan. Tertulis "Mem Lia" dan ditujukan kepada "Bu Elly". Setelah dipelajari, semua guru yakin, surat itu surat kaleng, karena tidak mungkin Mem Lia melakukan hal seperti itu.
Ibu dua anak ini figur yang tenang dan ramah. Anak-anak suka berada di dekatnya karena sikapnya selalu hangat. Para orangtua juga menyukai Mem Lia lantaran rajin memotivasi siswa untuk urusan menghormati orangtua, berdisiplin, tekun, bercita-cita tinggi, toleransi antarteman, dan sebagainya.
Tentu saja Bu Masri, kepala sekolah, kaget saat mendengar temuan itu. Kemarin dia langsung menjadikannya agenda utama rapat rutin guru sepulang sekolah.
"Bukan saya," kata Mem Lia sembari tersenyum.
Tetapi, mengapa pula memakai nama Mem Lia? Mengapa ditujukan kepada Bu Elly? Guru-guru tak habis pikir, selain masih khawatir mengingat teror itu.