Cuci mata ke mal? Itu biasa. Yang tren sekarang, khususnya bagi warga Jakarta, adalah menjambangi ruang terbuka hijau (RTH) di dalam kota.
Berkunjung ke RTH menjadi opsi tepat buat rekreasi cerdas, sehat, dan hemat. Cerdas, karena berkunjung ke RTH bisa menjadi wisata edukasi bagi pengunjungnya. Yakni, dengan menggali informasi mengenai riwayat RTH dan berbagi informasi dengan pengunjung lain. Bahkan, bisa menjadi inspirasi buat konten tulisan atau muatan di media sosial.
Cerdas, karena dengan menjadi pengunjung RTH secara tidak langsung memperjelas adanya kebutuhan warga kota untuk ruang-ruang terbuka yang asri buat melepas penat, sekaligus mengasah kepekaan terhadap amat perlunya menjaga lingkungan hijau di sekitar kita.
Sehat, karena di tempat ini kita dapat mengolah raga, jiwa, dan rasa. Kita bisa berolahraga, menghirup udara segar dan kaya oksigen, berada di ruang terbuka yang merelakskan jiwa, membaca buku di bawah pohon rindang, bertemu teman, kerabat, dan kenalan baru, merasa plong dan bahagia.
Hemat, karena kita bisa menjangkau RTH yang terdekat dengan tempat tinggal kita. Begitu dekatnya mungkin, sehingga kita bisa berjalan kaki menuju RTH itu.
Tren ke RTH ternyata berimbas ke penduduk di luar kota. Seperti saya dan teman-teman yang dari Bogor, yang belum lama ini berkunjung ke dua RTH di Jakarta, yakni RTH Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di Jakarta Selatan dan RTH Lapangan Banteng di Jakarta Pusat.
Begitu pula puluhan orang yang berjalan serempak dalam komando pemimpinnya, dalam balutan busana olahraga dilengkapi selendang tenun ikat khas Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sempat berpapasan dengan saya di bibir RTH Lapangan Banteng, di jalan di samping Gedung Kementerian Keuangan. Mereka mengaku komunitas NTT yang tinggal di kota-kota satelit di sekitar Jakarta. Ada pula barisan dalam nuansa etnik yang lain.
RTH Lapangan Banteng
Bagi saya yang tinggal di Bogor, manfaat dan serunya pengalaman mengunjungi RTH di Jakarta sudah dimulai sejak berangkat dari rumah. Bangun lebih dini membuat saya bisa menghirup udara pagi yang segar dan sehat lebih banyak dan leluasa.
Langit subuh masih redup ketika saya tiba di Stasiun Cibinong, Bogor. Dalam perjalanan menuju Jakarta, cahaya merah surya dari timur menerpa kaca komuter yang saya tumpangi, sebelum moda transportasi itu tiba di Juanda.
Pagi itu, saya dan teman-teman bertemu di RTH Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Jarak dari Stasiun KRL Juanda ke RTH Lapangan Banteng bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Begitu tiba di gerbang utama RTH, tugu Monumen Pembebasan Irian Barat langsung terlihat, gagah, tinggi menjulang sejauh 35 meter ke atas.
Di titik temu, sudah banyak orang yang datang. Rata-rata berpakaian olahraga. Ada yang berjalan kaki, ada yang berlari. Ada yang masih duduk-duduk. Ada yang sudah nongkrong di tukang jajanan di bibir RTH sembari menyantap bubur ayam, lontong/ketupat sayur, gorengan, dan lain-lain.
Pohon-pohon beringin tua dengan akar bergelantungan menjadi titik yang saya pilih untuk duduk menanti teman yang lain. Pohon besar dan tua itu langsung menarik perhatian saya, seperti magnet yang memaksa saya duduk di kursi taman.
Sebelumnya, saya berkeliling di RTH, menikmati taman yang tertata rapi. Sungguh tidak pernah menyangka bahwa area yang semasa kecil saya kenal sebagai terminal bis yang hiruk-pikuk itu bisa menjadi cantik dan asri seperti itu.
Tanaman hijau dan rumput yang terawat memungkinkan saya mengambil foto-foto indah untuk koleksi. Ada jalan setapak yang bisa membawa kita ke semacam gubug setengah beton yang terkesan etnis, untuk duduk santai sembari membaca buku atau melepas kepenatan sehabis berolahraga.
Saya merasa makin betah berada di taman itu, saat menyaksikan puluhan burung merpati dengan lepasnya berseliweran di area terbuka, yang dilalui pengunjung. Mereka terbang sebentar, pendek saja, ketika kaki-kaki pengunjung melangkah di dekat mereka, lalu mendarat lagi.
Di RTH itu, ada lahan khusus untuk menyelenggarakan Pameran Flora dan Fauna, yang merupakan agenda rutin. Pada acara khusus ini, kita bisa melihat dan/atau membeli tanaman dan/atau hewan yang dipamerkan/dijual.
Berkunjung ke RTH Lapangan Banteng sungguh merupakan langkah cerdas. Kita bisa belajar banyak atau mengingat kembali lapangan bersejarah ini, antara lain tentang bagaimana ia juga dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang nilai historikalnya tak kalah penting. Seperrti Hotel Borobudur, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, dan kawasan perbelanjaan Pasar Baru.
RTH Lapangan Banteng amat mudah dijangkau, karena dekat dengan pemberhentian umum, termasuk halte TransJakarta di Juanda dan Lapangan Banteng, Stasiun KRL Juanda, dan MRT Bundaran HI.
RTH Taman Literasi Martha Christina Tiahahu
Berbeda dengan RTH Lapangan Banteng, RTH Taman Literasi Martha Christina Tiahahu memiliki cerita sendiri mengenai keberadaannya.
Berada di Jakarta Selatan di atas lahan seluas 9000 meter persegi, RTH ini merupakanbagian dari Panduan Rancang Kota (PRK) Kawasan Pembangunan Berorientasi Transit Blok M dan Sisingamangaraja sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2020.
Penamaan taman sebagai Taman Literasi Martha Christina Tiahahu antara lain merujuk pada kentalnya pesan edukasi dari eksistensi dirinya. Seperti adanya ruang baca, ruang berekspresi tanpa atap yang disusun melingkar dengan tempat duduk bertingkat seperti di stadion, area bermain anak yang dilengkapi dengan tiang untuk mengukur tinggi badan, lemari khusus untuk donasi buku atau mengambil buku, dan sebagainya.
Martha Christina Tiahahu dari Maluku adalah sosok dengan karakter perempuan yang lembut tapi bersemangat pejuang dan memiliki keberanian bertempur untuk membela tanah air. Taman ini merupakan interpretasi bentuk dan ruang dari karakter pahlawan perempuan itu untuk membakar semangat berdiskusi, berjejaring, dan mengembangkan budaya literasi dalam kehidupan sehari-hari.
Taman ini memiliki enam plaza, yaitu Plaza Utara, Plaza Kabaresi, Plaza Bunga, Plaza Selatan, Plaza Anak, dan Plaza Timur. Di ruang baca, tersedia ratusan koleksi buku yang bisa diakses oleh pengunjung dengan menggunakan ponsel pintar dengan pemindaian barcode. Koleksi ini terkoneksi dengan Perpustakaan DKI Jakarta yang berbasis di Taman Ismail Marzuki.
Sebagai area yang berbau ekologis, tentu saja di taman ini ada tumbuhan atau pohon-pohon. Pembangunan RTH ini memang sengaja diupayakan sedemikian rupa sehingga bangunan yang ada di dalam taman menjadi kesatuan lansekap RTH, yang tertutup dari luar oleh visual area hijau dari taman.
Di salah satu sisi, dekat dengan Plaza Anak, ada taman dengan beberapa pohon yang dipertahankan sebagaimana aslinya sebelum revitalisasi area dimulai.
Di sela-sela dua bangunan toilet, kita bisa melihat sebuah pohon besar yang dipertahankan sehingga atap ruang sela di antara toilet itu sengaja dilubangi besar sebagai tempat lewat tubuh pohon tersebut.
Di sekitar RTH, kita bisa menemukan beberapa kios yang merupakan bank sampah. Kelebihan lain dari RTH ini adalah tersedianya fasilitas untuk penyandang disabilitas.
Tak kalah menarik bahwa di RTH ini tidak disediakan lahan parkir. Pengunjung bisa berjalan kaki dari halte TransJakarta terdekat di Jalan Sisingamangaraja, atau memarkir kendaraan pribadi di area lain di luar RTH.
Di tengah kesibukan sehari-hari, warga Jakarta bisa menjadikan RTH ini sebagai tempat transit yang berkualitas. Selain melepas penat, taman ini bisa menjadi tempat mengisi waktu secara lebih produktif, misalnya dengan membaca buku, mengajak anak bermain, menonton atraksi di amphitheater (ruang terbuka tanpa atap untuk berekspresi), berlatih menyanyi di taman, dan sebagainya.
Ketika saya berkunjung ke sana, serombongan pemuda gereja sedang berkumpul di taman dan siap berlatih musik dan vokal untuk keperluan lomba.
Masih Kurang
Berkunjung ke RTH menjadi semacam tren. Pilihan atas RTH meluas dengan makin banyaknya jumlah RTH di perkotaan, khususnya di Jakarta. Kesadaran akan pentingnya pengadaan RTH meningkat sejalan dengan kian sempitnya lahan untuk ruang gerak warga di area terbuka, lantaran “terhimpit” gedung dan bangunan yang terus saja dibangun.
Masyarakat membutuhkan kelegaan dari sumpeknya ruang gerak dan udara yang kurang layak akibat polusi. Keberadaan RTH memberikan kelegaan untuk memberikan ruang yang nyaman, dengan udara lebih bersih, suasana yang lebih tenang, dan sebagai sumber belajar.
Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH terdefinisi sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh alamiah maupun sengaja ditanam.
Ketentuan itu mengharuskan jumlah RTH sebesar 30 persen dari total luas kota, yang terbagi dalam dua kategori yakni RTH publik (20 persen) dan RTH swasta (10 persen).
Hingga 2023, Jakarta baru memiliki RTH seluas 33,34 juta meter persegi atau 5,2 persen dari total luas wilayah. Capaian ini akan terus ditingkatkan untuk menjawab kerinduan penduduk di kota yang amat padat ini, kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah mengutip laman DPRD Provinsi DKI Jakarta pada 3 Mei 2024.
Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta, seperti diberitakan oleh detik.com pada 28 Februari 2024, mengatakan bahwa penambahan 29 RTH seluas 5,1 hektare menjadi target tahun ini, sementara 23 RTH seluas 6,7 hektare sudah dilakukan pada 2023.
Meskipun jumlah RTH di Jakarta belum seperti yang ditargetkan, kita tetap patut bersyukur, karena terus terjadi penambahan.
Tentu saja, harapan saya dan mungkin juga banyak pengunjung lain, sembari menanti bertambahnya RTH, taman-taman yang sudah ada tetap dipelihara dengan baik dan bahkan ditingkatkan fasilitasnya. Antara lain dengan memastikan terpenuhinya hak-hak penyandang keterbatasan atau disabilitas untuk ikut menikmati RTH.
Tak ada gading yang tak retak. Di RTH Taman Literasi Martha Christina Tiahahu misalnya, pengelola idealnya menjaga konsistensi penamaan tempat dengan apa yang bisa ditemukan oleh pengunjung di tempat.
Ketika saya ke sana, mampir di Plaza Bunga, di tempat itu nyaris tidak ada atau tidak terlihat bunga-bungaan. Gersang. Padahal, tempat yang tidak seberapa luas itu kemungkinan besar termasuk yang paling diminati oleh warga yang rindu melihat keasrian dan keindahan di tengah semrawutnya kehidupan di kota besar. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H