Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Lani dan Keluarga Pengamen

1 Agustus 2024   17:59 Diperbarui: 2 Agustus 2024   12:40 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Erry Y Siahaan/Dokumentasi Pribadi

Elsa menggeser posisi duduknya. Teman di seberangnya, Nika, spontan ikut bergeser, seakan tak mau kalah dengan Elsa, untuk memastikan seorang perempuan lanjut usia yang baru naik mendapatkan tempat duduk sehingga mereka tidak diusir turun oleh supir angkutan kota (angkot) yang mereka tumpangi.

Angkot bergerak lagi, diiringi bunyi "jreng jreng" dari ukulele seorang remaja pria di pintu masuk di belakang supir.

Nggak sekolah, Nak?” tanya ibu yang rambutnya abu-abu karena ubannya sudah mulai banyak menimpa helaian hitam di kepalanya.

“Sudah pulang, Bu,” jawab Elsa sembari melihat Nika, seakan meminta persetujuan apakah jawabannya sudah tepat. Sementara remaja laki-laki yang bermain ukulele tadi seperti tidak peduli.

Warna pakaian Elsa dan Nika tampak pudar. Entah karena sering dicuci, atau karena sudah kental tercampur debu dan daki pada kulit mereka. Mereka beralas kaki sandal jepit, yang warna putih alas telapak kakinya juga tak jelas lagi.

Ibu Lani, demikian perempuan dengan rambut abu-abu itu, penasaran. Dia mengajukan lagi beberapa pertanyaan kepada bocah-bocah itu, yang pada jam belajar malah berkeliaran di angkutan umum, membawa-bawa ukulele dan dua tempat saweran dari botol-botol bekas air mineral yang dibelah dua -- satu dari  botol berukuran sedang yang dilubangi lalu diikatkan pada ujung ukulele dan satu lagi dari botol besar yang ditaruh di sisi tempat duduk Nika.

“Kelas berapa?” tanya Ibu Lani.

“Kelas satu,” jawab Elsa.

Ibu Lani kaget, sebab sebelumnya Elsa mengaku sudah berusia sepuluh tahun.

“Saya nggak naik kelas terus, Bu,” Elsa menjawab keheranan Ibu Lani dengan polos.

Pembicaraan berlanjut. Ibu Lani bersyukur karena hanya ada dua lagi penumpang yang naik angkutan itu, sehingga anak-anak itu tidak perlu berdesakan atau disuruh turun oleh supir. Perbincangan juga bisa dilanjutkan.

Elsa dan Nika adalah teman baik sedari kecil. Rumah mereka berdekatan, tak terlalu jauh dari terminal. Mereka mengaku sebagai murid di dua sekolah negeri yang berbeda. Nika sudah kelas lima. Kedua bocah itu sehari-hari bermain bersama, juga mengamen.

“Untuk beli buku, Bu,” kata Elsa.

Ibu Lani memang banyak tertarik pada Elsa. Selain karena duduknya persis di sebelahnya, Elsa tampak lebih polos.

Ibu Lani berhenti bertanya ketika secara spontan Elsa memainkan gitar kecil milik kakaknya itu dan bernyanyi dengan suara agak pelan. Lagu orang dewasa. Di beberapa tempat, ukulele itu retak dan tampak sisa-sisa upaya untuk menjaganya agak tidak menjadi lebih parah. Ada sisa perekat super, tali, dan plester. Tidak mengherankan apabila suara alat musik itu juga kurang jernih.

“Belajar lagu itu dari siapa?” tanya Ibu Lani, yang kebetulan paham sekali dengan lagu-lagu di blantika musik. Elsa mengatakan, dia banyak mendengar dari orang lain.

Yang membuat Ibu Lani benar-benar terkejut adalah ketika Elsa mengatakan dirinya sudah belajar mengamen dari bayi.

“Saya ngamen dari bayi, Bu,” kata Elsa yang mengaku meminjam ukulele itu dari kakaknya yang masih tidur ketika dia berangkat mengamen. Sementara Nika asyik memeluk kotak hitam kecil, pengeras suara yang terhubung dengan mikrofon kecil sederhana yang mereka bawa.

Kata-kata itu membuat Ibu Lani kaget sekali. Dia mencoba menalar dan akhirnya berhasil mencerna, persis seperti penjelasan singkat dari gadis kecil itu kemudian.

Elsa lahir dari pasangan suami istri pengamen. Kata-kata Elsa tidak salah, karena memang sejak bayi dia suka dibawa oleh ibunya untuk mengamen. 

Kakak laki-laki Elsa juga mengamen. Mereka empat bersaudara. Dua adik Elsa masih kecil-kecil. Yang berusia enam tahun dibawa ibunya mengamen sekitar dua kilometer dari terminal. Adiknya yang masih bayi berada di rumah, dijaga oleh ayahnya.

***

“Stop, Pak,” kata Elsa dan Nika hampir berbarengan. Mereka turun, gratis, diikuti oleh Ibu Lani yang atas persetujuan kedua gadis itu akan ke rumah Elsa untuk bertemu dengan ayah Elsa. Remaja laki-laki berukulele -- yang ternyata tidak dikenal oleh Elsa dan Nika -– terus melaju bersama angkot. 

"Terima kasih, Pak," seru Elsa, disusul Nika, kepada supir.

Mereka berjalan tak jauh dari pinggir jalan, masuk ke dalam gang kecil dan sampailah di sebuah rumah kontrakan satu petak. Rumah itu hanya mempunyai satu kamar tidur. Kamar itu untuk ibu dan ayah Elsa, serta adik bayinya.

Elsa beserta kakak dan adiknya yang lain tidur di ruang tamu, yang rasanya lebih tepat disebut ruang serba guna karena di situlah keluarga itu menerima tamu, menonton televisi, berbincang-bincang, makan bersama, dan menggelar tikar untuk alas tidur Elsa dan kedua saudaranya, bahkan untuk seluruh keluarga jika ingin rebahan bersama.

Ibu Lani segera mengulurkan tangan kepada ayah Elsa, yang sempat bingung karena baru kali itu melihat Ibu Lani. Namun keheranannya terjawab setelah Ibu Lani memperkenalkan diri sebagai pensiunan guru di sekolah negeri. Dia sangat gusar bila ada anak-anak yang tidak atau terlambat bersekolah, padahal pemerintah sudah memastikan sekolah gratis dari jenjang sekolah dasar sampai tingkat lanjutan atas. 

Untuk yang terlambat, juga sudah ada program paket yang diselenggarakan oleh pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat. Ada paket A untuk sekolah dasar, paket B untuk sekolah lanjutan pertama, dan paket C untuk sekolah lanjutan atas. Jadi, pikir Ibu Lani, tidak ada alasan untuk tidak bersekolah, kecuali kondisi yang amat mendesak seperti sakit atau dirawat di rumah sakit. Alasan bahwa anak-anak ikut mencari nafkah atau yang klise semacamnya dianggap mengada-ada, kalau tak mau disebut keterlaluan.

“Sudah kami sekolahkan, Bu, tapi anaknya bolos-bolos terus. Jadi, tinggal kelas dan sekarang pindah lagi sekolahnya dan masih saja duduk di kelas satu,” kata Pak Ipol, ayah Elsa, sembari menengok ke si bungsu yang sedang tidur di ruang tamu.

Pak Ipol dan isterinya mengaku tak punya cukup waktu untuk memastikan seberapa disiplin anak-anaknya hadir di sekolah. Beberapa kali guru wali kelas Elsa dan kakaknya mengirim surat peringatan, tapi ayah-ibu Elsa hanya bisa sebatas mengingatkan Elsa untuk jangan bolos. Demikian pula dengan kakak Elsa, yang meskipun usianya sudah 15 tahun, masih duduk di kelas enam.

“Elsa selalu bilang ‘iya’ kalau kami memberi nasihat, tetapi tetap saja masih bolos,” kata Pak Ipol. Laki-laki itu memberi kesan tidak berdaya bolak-balik ke sekolah untuk mengurusi kehadiran Elsa dan kakaknya, karena itu berarti jam-jam produktifnya sebagai pengamen berkurang banyak. Padahal, dapur harus terus diisi dengan bahan makanan.

“Enakan ngamen, Bu, dapat duit,” Elsa menjelaskan mengapa dirinya dulu suka mangkir dari sekolah. Dia melihat, tanpa sekolahpun ibu dan ayahnya baik-baik saja, bisa mencari uang dengan menyanyi di jalan-jalan.

***

Siang itu Ibu Lani sedang menjinjing dua tas plastik berisi belanjaan. Dia dari pasar dan sedang menunggu angkot di terminal dekat pasar.

“Ibu, sini saya bawa satu tasnya,” kata seorang anak perempuan. Suara itu cukup akrab di telinga Ibu Lani.

Ibu Lani menoleh. Ah, Elsa rupanya. Wajah Ibu Lani berseri. Direlakannya satu tas yang berukuran kecil dibawa oleh Elsa.

Ibu Lani terlihat bahagia. Perempuan cilik yang dulu kumal itu terlihat lebih cantik dalam pakaian putih merahnya.

“Mana Nika?” tanya Ibu Lani. Belakangan ini Nika memang jarang terlihat bersama Elsa.

“Sedang sekolah, Ibu. Masuk sekolahnya siang, sekarang sudah kelas satu,” jawab Elsa tentang teman mainnya sedari kecil itu.

Ibu Lani dan Elsa kembali terlibat percakapan. Kali ini, lebih banyak soal sekolah Elsa. Wajah Elsa berseri-seri. Gadis itu kini rajin belajar. Dia memang masih mengamen, tetapi pada akhir pekan saja dan cepat pulang. Ibu Elsa juga masih mengamen, dengan boks hitam pengeras suara yang lebih besar, dilengkapi mikrofon dan musik siap putar dari dalamnya, terkadang membawa bayinya. Sementara adik Elsa sudah masuk kelas satu, juga rajin dan jarang dibawa mengamen oleh ibunya.

Rupanya, sepulang Ibu Lani dari rumah Elsa dua tahun lalu dan beberapa pertemuan setelahnya, ayah Elsa dan keluarganya berpikir keras. Betapa pendidikan itu penting. Benar, mereka bisa makan dari mengamen. Tapi zaman terus berubah. Tantangan hidup makin kompleks. Saat ini mungkin masih bisa menyanyi di jalan-jalan dengan ukulele rusak untuk mendapatkan uang. Tapi, suatu hari kemampuan itu tidak cukup lagi untuk merespon selera orang yang terus berkembang. Selain itu, bukankah anak-anak juga berhak merenggut kehidupan yang lebih baik daripada orangtua mereka?

Elsa turun lebih dulu. Kali ini, Ibu Lani tetap dalam angkot. Wajahnya gembira. Tas-tas plastik belanjaannya tampak jauh lebih ringan, selepas dia memandang Elsa yang menghilang dari pandangan. ***

Erry Yulia Siahaan (Bogor)
Kisah ini terinspirasi dari pertemuan dengan dua bocah pengamen pada Kamis (1 Agustus 2024) siang di dalam angkutan umum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun