Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Lani dan Keluarga Pengamen

1 Agustus 2024   17:59 Diperbarui: 2 Agustus 2024   12:40 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

“Stop, Pak,” kata Elsa dan Nika hampir berbarengan. Mereka turun, gratis, diikuti oleh Ibu Lani yang atas persetujuan kedua gadis itu akan ke rumah Elsa untuk bertemu dengan ayah Elsa. Remaja laki-laki berukulele -- yang ternyata tidak dikenal oleh Elsa dan Nika -– terus melaju bersama angkot. 

"Terima kasih, Pak," seru Elsa, disusul Nika, kepada supir.

Mereka berjalan tak jauh dari pinggir jalan, masuk ke dalam gang kecil dan sampailah di sebuah rumah kontrakan satu petak. Rumah itu hanya mempunyai satu kamar tidur. Kamar itu untuk ibu dan ayah Elsa, serta adik bayinya.

Elsa beserta kakak dan adiknya yang lain tidur di ruang tamu, yang rasanya lebih tepat disebut ruang serba guna karena di situlah keluarga itu menerima tamu, menonton televisi, berbincang-bincang, makan bersama, dan menggelar tikar untuk alas tidur Elsa dan kedua saudaranya, bahkan untuk seluruh keluarga jika ingin rebahan bersama.

Ibu Lani segera mengulurkan tangan kepada ayah Elsa, yang sempat bingung karena baru kali itu melihat Ibu Lani. Namun keheranannya terjawab setelah Ibu Lani memperkenalkan diri sebagai pensiunan guru di sekolah negeri. Dia sangat gusar bila ada anak-anak yang tidak atau terlambat bersekolah, padahal pemerintah sudah memastikan sekolah gratis dari jenjang sekolah dasar sampai tingkat lanjutan atas. 

Untuk yang terlambat, juga sudah ada program paket yang diselenggarakan oleh pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat. Ada paket A untuk sekolah dasar, paket B untuk sekolah lanjutan pertama, dan paket C untuk sekolah lanjutan atas. Jadi, pikir Ibu Lani, tidak ada alasan untuk tidak bersekolah, kecuali kondisi yang amat mendesak seperti sakit atau dirawat di rumah sakit. Alasan bahwa anak-anak ikut mencari nafkah atau yang klise semacamnya dianggap mengada-ada, kalau tak mau disebut keterlaluan.

“Sudah kami sekolahkan, Bu, tapi anaknya bolos-bolos terus. Jadi, tinggal kelas dan sekarang pindah lagi sekolahnya dan masih saja duduk di kelas satu,” kata Pak Ipol, ayah Elsa, sembari menengok ke si bungsu yang sedang tidur di ruang tamu.

Pak Ipol dan isterinya mengaku tak punya cukup waktu untuk memastikan seberapa disiplin anak-anaknya hadir di sekolah. Beberapa kali guru wali kelas Elsa dan kakaknya mengirim surat peringatan, tapi ayah-ibu Elsa hanya bisa sebatas mengingatkan Elsa untuk jangan bolos. Demikian pula dengan kakak Elsa, yang meskipun usianya sudah 15 tahun, masih duduk di kelas enam.

“Elsa selalu bilang ‘iya’ kalau kami memberi nasihat, tetapi tetap saja masih bolos,” kata Pak Ipol. Laki-laki itu memberi kesan tidak berdaya bolak-balik ke sekolah untuk mengurusi kehadiran Elsa dan kakaknya, karena itu berarti jam-jam produktifnya sebagai pengamen berkurang banyak. Padahal, dapur harus terus diisi dengan bahan makanan.

“Enakan ngamen, Bu, dapat duit,” Elsa menjelaskan mengapa dirinya dulu suka mangkir dari sekolah. Dia melihat, tanpa sekolahpun ibu dan ayahnya baik-baik saja, bisa mencari uang dengan menyanyi di jalan-jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun