Ibu itu menjengkali lebar dan panjang perumahan Savannah dengan ingatannya. Dia menengok ulang pengalamannya lewat rumah demi rumah. Pandangannya terhenti di sebuah rumah di blok E. Dia melihat dirinya memakan kue-kue dagangannya saking laparnya, dengan berlinang air mata.
***
Ibu Sarah, perempuan itu, berusia 67 tahun. Badannya sedikit bungkuk. Mungkin, karena terbiasa mengangkat yang berat-berat, termasuk menjinjing dua keranjang penuh kue sembari berkeliling ke berbagai tempat dengan berjalan kaki.
Dia bisa berjalan sampai puluhan kilometer setiap hari, kecuali Minggu. Dia membuat enam zonasi berbeda untuk enam hari kerjanya.
“Cukup satu kali seminggu, setiap Rabu, saya muncul di daerah ini. Supaya pelanggan saya tidak bosan,” katanya kepada keempat temannya, yang satu mobil menuju rumah di Savannah untuk ibadah wilayah.
Minggu, dia libur. Hari untuk ke gereja dan berkumpul bersama keluarga. Hari untuk berbagi cerita, rencana, dan strategi untuk melangkah ke depan bersama lima anak dan suaminya.
Dia sudah menjanda sekitar 25 tahun. Suaminya diberhentikan dari kantor lantaran sakit paru. Sejak itu, selama duabelas tahun sebelum akhirnya suaminya wafat, Ibu Sarah harus memutar akal untuk menambah penghasilan.
Dia membuka kios kecil dengan barang dagangan berupa rokok ketengan, gula pasir dalam kemasan kecil-kecil, jajanan anak, dan barang-barang lain yang biasa dibeli dadakan. Suaminya, yang masih bisa beraktivitas ringan, menjaga warung, sementara dia berjualan kue.
“Suami saya tidak punya uang pensiun. Jadi, kami harus benar-benar putar otak untuk mencukupi ekonomi kami,” katanya.
Anak-anaknya masih kecil waktu itu. Saat menjanda, yang terkecil masih di sekolah dasar.
***
Ibu Sarah berangkat pagi-pagi, seusai mengurus keperluan anak-anak dan suami. Dia menjemput kue-kue dari tetangga dan menjinjingnya bersama kue buatannya yang disebut lapet.
Lapet adalah kue khas Batak, dari tepung beras bercampur serutan kelapa berisi irisan gula merah, kemudian dibungkus daun pisang dan dikukus. Dia juga membuat lapet dari tepung ketan hitam, lalu diisi serutan kelapa yang dicampur gula putih.
Dulu, di Savannah, belum banyak rumah. Tapi, di sana ada sebuah pasar dadakan, tempat dia menjajakan kue-kue kepada penjual dan pembeli di pasar.
“Saya bersyukur. Banyak yang suka kue-kue saya, termasuk lapet. Dulu, di sini ternyata sudah ada keluarga-keluarga Batak.”
***
Pandangannya terhenti di sebuah rumah di blok H. Dia melihat dirinya sedang menahan kencing. Ekspresinya berubah. Hidungnya terangkat. Matanya menyipit. Mulutnya terbuka. Desah suara terdengar, sementara dia memperagakan kedua tangannya menekan-nekan perutnya bagian bawah.
“Tidak tahan lagi, saya lari ke semak-semak yang tinggi di sana dan jongkok,” katanya menunjuk rumah itu.
Entah kenapa kompleks baru itu bernama Savannah. Savannah (bahasa Inggris) berarti padang rumput. Savannah juga nama kota terkenal di negara bagian Georgia di Amerika Serikat. Banyak artis populer dunia bernama depan Savannah.
Menilik cerita Ibu Sarah, nama Savannah lebih mungkin pada riwayat area tersebut yang dulunya seperti padang rumput, dengan hanya beberapa rumah di atasnya.
***
Pandangannya terhenti di sebuah rumah di blok J, bercat putih, satu lantai, memanjang ke belakang. Sisa tanah di tikungan membuat rumah itu terlihat besar. Dia melihat dirinya sedang membuat alas kaki dari tumpukan rumput kering yang dimasukkan ke dalam kantung plastik.
“Di sini. Ya, di sini,” katanya. “Di sini, sandal saya copot.”
Dia tertawa. Teman-temannya ikut tertawa. Dia tertawa, membekap kepedihan kala itu, di mana dia terancam pulang dengan sebelah kaki telanjang.
Selanjutnya, perempuan itu selalu membawa sandal jepit dua pasang. Jika yang dipakainya bermasalah, yang cadangan mengambil alih. Yang rusak, tidak dibuang, tapi dibawa pulang, untuk diperbaiki dan dipakai ulang.
***
Ibu Sarah kini tak perlu lagi berkeliling menjaja kue. Semua anaknya sudah bekerja. Yang pertama menjadi abdi negara dan telah memberinya dua cucu. Yang kedua, guru dengan dua putri. Tiga lagi belum menikah.
Perempuan itu terlihat bahagia. Memorinya masih bisa menjengkali Savannah dan tempat-tempat lain, menarik air mata sekaligus tawanya.
Dia menjengkali Savannah. Berhenti di satu rumah, di blok E dan memandang dirinya sedang memakan kue-kue dagangannya saking laparnya. Setiap rupiah laba dari setiap kue amatlah berarti.
“Saya seperti sedang memakan rupiah demi rupiah yang seharusnya saya tabung untuk suami dan anak-anak. Pahit rasanya,” kata Ibu Sarah. Pipinya basah mengenang rasa bersalah yang menikamnya selama berhari-hari setelahnya.
Peristiwa yang membuat dia kemudian selalu membawa nasi setiap hari dan sebotol teh manis untuk penambah energi jika tubuhnya tiba-tiba lapar, demi menyelamatkan rupiah dari jualannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H