Pandangannya terhenti di sebuah rumah di blok J, bercat putih, satu lantai, memanjang ke belakang. Sisa tanah di tikungan membuat rumah itu terlihat besar. Dia melihat dirinya sedang membuat alas kaki dari tumpukan rumput kering yang dimasukkan ke dalam kantung plastik.
“Di sini. Ya, di sini,” katanya. “Di sini, sandal saya copot.”
Dia tertawa. Teman-temannya ikut tertawa. Dia tertawa, membekap kepedihan kala itu, di mana dia terancam pulang dengan sebelah kaki telanjang.
Selanjutnya, perempuan itu selalu membawa sandal jepit dua pasang. Jika yang dipakainya bermasalah, yang cadangan mengambil alih. Yang rusak, tidak dibuang, tapi dibawa pulang, untuk diperbaiki dan dipakai ulang.
***
Ibu Sarah kini tak perlu lagi berkeliling menjaja kue. Semua anaknya sudah bekerja. Yang pertama menjadi abdi negara dan telah memberinya dua cucu. Yang kedua, guru dengan dua putri. Tiga lagi belum menikah.
Perempuan itu terlihat bahagia. Memorinya masih bisa menjengkali Savannah dan tempat-tempat lain, menarik air mata sekaligus tawanya.
Dia menjengkali Savannah. Berhenti di satu rumah, di blok E dan memandang dirinya sedang memakan kue-kue dagangannya saking laparnya. Setiap rupiah laba dari setiap kue amatlah berarti.
“Saya seperti sedang memakan rupiah demi rupiah yang seharusnya saya tabung untuk suami dan anak-anak. Pahit rasanya,” kata Ibu Sarah. Pipinya basah mengenang rasa bersalah yang menikamnya selama berhari-hari setelahnya.
Peristiwa yang membuat dia kemudian selalu membawa nasi setiap hari dan sebotol teh manis untuk penambah energi jika tubuhnya tiba-tiba lapar, demi menyelamatkan rupiah dari jualannya. ***