Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemerdekaan di Atas Batu

28 Agustus 2023   17:42 Diperbarui: 28 Agustus 2023   22:22 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pexels.com/Dio Hasbi Saniskoro

Batu mawar

batu langit 

batu duka 

batu rindu 

batu jarum 

batu bisu 

kaukah itu teka teki 

yang tak menepati janji?”

Demikian penggalan awal puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Penulis membacakannya pada suatu pagi di atas sebuah batu, di tengah area perkebunan teh di kawasan Puncak, Bogor. Udara dingin tak berhasil meredam kokang suara begitu ia mulai dilepaskan.

Hari itu tepat tanggal 17 Agustus 1989. Berpuisi di atas batu, jauh dari tempat-tempat upacara bendera yang pernah penulis datangi, bukanlah untuk mencari sensasi.

Bersama dua rekan penggemar sastra, satu dari Pendidikan Bahasa Indonesia dan satu lagi dari Sastra Prancis, penulis ingin menghirup aroma kemerdekaan dalam nuansa yang hening, dingin, dan menyatu dengan alam. Nuansa yang terhipotesis sebagai tak kalah hikmat dan bermakna dibandingkan dengan upacara bendera dalam agenda yang terfiksasi rapat-rapat.

Penulis dan kedua sahabat sastra bergantian menaiki batu yang sama, membacakan puisi. Juga, naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Pancasila, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Suara lantang menyebar di helai-helai daun teh yang masih berembun.

Penulis memilih puisi “Batu” karena terkenang terus dengan fenomenanya sebagai puisi sulit, ketika ia menjadi salah satu karya pilihan pada suatu lomba di Taman Ismail Marzuki. Sulit bukan berarti tidak bisa ditaklukkan. Seperti batu, ia akan takluk pada tetesan air yang terus menerus jatuh di atasnya.

Beraksi “di atas batu” terjadi tanpa rekayasa. Seturunnya dari bus, lalu berjalan menapaki jalan kecil di sela-sela barisan pohon teh, kami bertemu suatu area yang sedikit luas dan ada batu agak besar di sana. Kami langsung menaruh ransel di atas tanah, menjadikan batu itu “panggung upacara”, dan memulai ritual kami.

Ketika naskah Proklamasi disuarakan dan lagu kebangsaan digemakan, bendera merah putih berkibar dalam hati. Batang dan ranting-ranting teh bak peserta upacara yang setia, menjadi pendengar yang khidmat yang menjaga posisinya yang tegak.

*** 

Berpuisi dan membaca naskah Proklamasi Kemerdekaan RI di atas batu pada 17 Agustus, sungguh pengalaman tak terlupakan. Ini merupakan kebebasan berekspresi yang memancarkan arti kemerdekaan dari hati berbalut semangat merah putih.

Memori itu menjadi pembanding bagi setiap tanggal yang sama pada tahun-tahun berikutnya, juga sebelumnya. Pada masa-masa sebagai pelajar, penulis mengikuti upacara bendera di sekolah, umumnya sebagai petugas. Ada kalanya penulis menjadi pemandu lagu, tapi lebih sering sebagai pembaca naskah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Tahun 1989 merupakan masa transisi dari tradisi mengikuti upacara bendera di lingkungan pendidikan dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan di tempat kerja. Pada 1990, ketika telah resmi menjadi pegawai tetap di suatu penerbitan, penulis mengikuti upacara bendera di kantor, kecuali ketika sedang tugas luar.

Selain di sekolah dan kantor, penulis juga pernah beberapa kali mengikuti upacara bendera di Istana Merdeka, Jakarta, sebagai tamu undangan.

Masing-masing memiliki nilai lebih dan nilai kurang, yang cenderung subjektif bagi orang per orang. Apakah kita suka dengan hiruk-pikuk, suasana formal, jadwal yang kaku, pakaian yang ditentukan, dan semacamnya. Atau, kita justru menginginkan suasana yang sepi, tidak resmi, dengan agenda yang lebih luwes.

Secara objektif, menurut penulis, suatu upacara seharusnya memiliki frekuensi yang sama. Kita mencari esensi sejati dari peringatan Hari Kemerdekaan RI. Apa sebenarnya yang ingin kita peroleh setelah berkumpul menaikkan bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mendengarkan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945?

Setiap waktu, energi, dan sumberdaya untuk upacara bendera idealnya terbayar dengan apa yang kemudian kita peroleh seusainya. Berdiri cukup lama di tengah siraman matahari, dengan perlengkapan yang mungkin saja harus dibeli baru, kalau sekadar formalitas, lantas untuk apa?

Menjadi pertanyaan, jika kita mengikuti upacara tapi kemudian masih berkelahi untuk hal-hal sepele, misalnya pada saat mengikuti lomba. Atau, kita masih pro berkepala batu ketimbang mendengar kata hati ketika berurusan dengan kepentingan orang banyak: masih membuang sampah sembarangan, tetap boros air dan listrik, bergaya hidup mewah lalu selfie, padahal ada saudara yang hidup berkekurangan, dan semacamnya.

***

Mengikuti upacara bendera, terlebih sebagai petugas, membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Sewaktu di sekolah dan menjadi petugas upacara, penulis mengenakan seragam, kaos kaki putih panjang sampai di bawah lutut, sarung tangan putih, topi, dasi, selempang petugas, dan atribut lain yang ditentukan.

Di lingkungan kerja, peserta upacara boleh berpakaian bebas. Ketika bertugas, ada juga aturan mengenai seragam, yang mirip-mirip kompleksitasnya dengan busana petugas di sekolah. Namun, sebagai peserta maupun petugas sama-sama membutuhkan energi.

Mengikuti upacara di Istana Merdeka, tidak senyaman yang ada dalam pikiran. Menjadi tamu tidak serta merta datang lalu langsung “duduk manis”. Penulis perlu berjuang untuk berjalan dari jalur mobil menuju kavling tamu yang sudah ditentukan nomornya.

Gerakan turun dari mobil harus segera, karena mobil harus selekasnya bergerak lagi sesuai aba-aba petugas. Di belakang, sudah berderet panjang mobil-mobil lain. Artinya, kita harus membawa supir untuk bisa berjalan lebih dekat ke tempat tamu. Kalau tidak, kita harus lebih jauh berjalan, dari tempat mobil disinggahkan.

Berjalan dalam terpaan cahaya matahari yang mulai galak, dalam kebaya dan berselop agak tinggi, membuat penulis harus bisa menyesuaikan diri segera, antara tubuh yang mulai berkeringat sekeluarnya dari mobil berpendingin dengan langkah kaki yang cepat.

Buat penulis, mengenang detik-detik kemerdekaan di atas batu merupakan momen yang luar biasa. Ritualnya sederhana. Pakaian seadanya. Beban lebih ringan karena tidak perlu was-was akan dipersalahkan. Namun, itu bukan berarti ritualnya menjadi asal-asalan. Kebun teh yang khusyuk menjadikan momen peringatan kemerdekaan di atas batu menjadi amat berkesan.

***

Tahun ini penulis mengikuti berita mengenai peringatan Hari Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, yang berlangsung cukup meriah. Namun, penulis juga menemukan kisah miris, di mana upacara peringatan Kemerdekaan RI berlangsung di tengah banjir rob dan di area berasap akibat kebakaran lahan.

Dari Desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah, warga menyatakan: “Kami masyarakat Timbulsloko juga ingin merasakan yang namanya benar-benar merdeka. Maka kami minta, Merdekakan Kami Dari Krisis Iklim.”

Sementara dari area yang masih berasap akibat api yang melahap lahan, petugas berseragam oranye berdiri tegak, memberi hormat pada bendera merah putih yang berkibar.

Pemandangan yang kontras dan menimbulkan tanda tanya pada bendera merah putih di hati penulis. Kemerdekaan RI diraih dengan darah serta pengorbanan banyak waktu, materi, energi, dan beban psikologis. Kebijakan pembangunan di negara yang merdeka seyogyanya berpihak bagi semua rakyat, sehingga seluruh warga merasakan menjadi tuan di atas tanah mereka yang merdeka.

Bahwa ada upacara di Timbulsloko dan area berasap, muncul pertanyaan, bagaimana kita memaknai kemerdekaan selama 78 tahun dan seperti apa kita akan membawanya pada tahun-tahun ke depan. Jika segelintir orang yang berpengaruh tetap lebih merdeka dalam berbuat banyak hal sekalipun menyebabkan air banjir rob makin tinggi dan lahan makin berasap, tidakkah kita bertanya, kemerdekaan itu sebenarnya untuk siapa dan harus dimaknai seperti apa?

***

Dari “batu”, kami menelusuri kebun teh, menuju perkampungan atau sekolah di sekitarnya untuk mendapatkan suasana tambahan dalam memperingati  Hari Kemerdekaan RI ke-44.

Kami berpapasan dengan sejumlah anak berseragam putih merah, berjalan kaki menuju sekolah. Kami mengikuti langkah mereka. Dari kejauhan terlihat bendera-bendera kecil merah putih dan umbul-umbul lumayan ramai di sekitar lapangan.

Kami menghabiskan hari dengan menyerap kegembiraan anak-anak sekolah dan masyarakat yang merayakan Hari Kemerdekaan.

Hingga kini, peringatan Kemerdekaan RI di atas batu masih teringat, mempertajam pesan metaforik mengenai batu yang sedari kecil sering penulis dengar. Batu menjadi dasar yang kuat untuk mendirikan sebuah rumah, ketimbang pasir atau tanah tanpa dasar. 

Seorang yang bijaksana adalah orang yang mendirikan rumah di atas batu. Sebaliknya, orang yang bodoh mendirikan rumah di atas pasir atau pada tanah tanpa dasar.

Semoga Kemerdekaan RI menjadi rumah yang didirikan di atas batu, bagi seluruh rakyat Indonesia. ***

Profil: Erry Yulia Siahaan (Ompung Gabriel), ibu dua anak; kelahiran Jakarta, sejak 2004 tinggal di Bogor; mengajar, menulis, menikmati musik dan sastra; pembelajar dalam menikmati dan mengagumi karya-karya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun