Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemerdekaan di Atas Batu

28 Agustus 2023   17:42 Diperbarui: 28 Agustus 2023   22:22 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pexels.com/Dio Hasbi Saniskoro

Tahun 1989 merupakan masa transisi dari tradisi mengikuti upacara bendera di lingkungan pendidikan dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan di tempat kerja. Pada 1990, ketika telah resmi menjadi pegawai tetap di suatu penerbitan, penulis mengikuti upacara bendera di kantor, kecuali ketika sedang tugas luar.

Selain di sekolah dan kantor, penulis juga pernah beberapa kali mengikuti upacara bendera di Istana Merdeka, Jakarta, sebagai tamu undangan.

Masing-masing memiliki nilai lebih dan nilai kurang, yang cenderung subjektif bagi orang per orang. Apakah kita suka dengan hiruk-pikuk, suasana formal, jadwal yang kaku, pakaian yang ditentukan, dan semacamnya. Atau, kita justru menginginkan suasana yang sepi, tidak resmi, dengan agenda yang lebih luwes.

Secara objektif, menurut penulis, suatu upacara seharusnya memiliki frekuensi yang sama. Kita mencari esensi sejati dari peringatan Hari Kemerdekaan RI. Apa sebenarnya yang ingin kita peroleh setelah berkumpul menaikkan bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mendengarkan teks Pancasila dan Pembukaan UUD 1945?

Setiap waktu, energi, dan sumberdaya untuk upacara bendera idealnya terbayar dengan apa yang kemudian kita peroleh seusainya. Berdiri cukup lama di tengah siraman matahari, dengan perlengkapan yang mungkin saja harus dibeli baru, kalau sekadar formalitas, lantas untuk apa?

Menjadi pertanyaan, jika kita mengikuti upacara tapi kemudian masih berkelahi untuk hal-hal sepele, misalnya pada saat mengikuti lomba. Atau, kita masih pro berkepala batu ketimbang mendengar kata hati ketika berurusan dengan kepentingan orang banyak: masih membuang sampah sembarangan, tetap boros air dan listrik, bergaya hidup mewah lalu selfie, padahal ada saudara yang hidup berkekurangan, dan semacamnya.

***

Mengikuti upacara bendera, terlebih sebagai petugas, membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Sewaktu di sekolah dan menjadi petugas upacara, penulis mengenakan seragam, kaos kaki putih panjang sampai di bawah lutut, sarung tangan putih, topi, dasi, selempang petugas, dan atribut lain yang ditentukan.

Di lingkungan kerja, peserta upacara boleh berpakaian bebas. Ketika bertugas, ada juga aturan mengenai seragam, yang mirip-mirip kompleksitasnya dengan busana petugas di sekolah. Namun, sebagai peserta maupun petugas sama-sama membutuhkan energi.

Mengikuti upacara di Istana Merdeka, tidak senyaman yang ada dalam pikiran. Menjadi tamu tidak serta merta datang lalu langsung “duduk manis”. Penulis perlu berjuang untuk berjalan dari jalur mobil menuju kavling tamu yang sudah ditentukan nomornya.

Gerakan turun dari mobil harus segera, karena mobil harus selekasnya bergerak lagi sesuai aba-aba petugas. Di belakang, sudah berderet panjang mobil-mobil lain. Artinya, kita harus membawa supir untuk bisa berjalan lebih dekat ke tempat tamu. Kalau tidak, kita harus lebih jauh berjalan, dari tempat mobil disinggahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun