Jugul berjingkat menuju pintu samping rumah. Bocah itu baru saja berhasil keluar dari kamar tanpa sepengetahuan ibu dan kakaknya.
Menguntungkan, kamarnya berada dekat pintu samping. Risiko ketahuan berkurang. Jugul tetap harus hati-hati kalau tidak mau ketahuan.
"Satu pintu itu lagi," bisiknya dalam hati sembari melangkah pelan-pelan.
Lelaki kecil montok itu berhasil tiba di pintu. Tangannya segera menggenggam engkol pintu, lalu memutarnya lambat-lambat searah jarum jam. Pintu terbuka. Jugul menyelinap. Dia menutup pintu itu, tidak sampai rapat.
Masih mengendap-endap, Jugul mengambil sepasang sandal di dekat pintu dan menjinjingnya menjauhi rumahnya yang tanpa pagar, hingga sampai di sebuah jalan.
"Akhirnyaaaa," pikir Jugul. Dia yakin, ibu dan kakaknya tidak akan menyadari kalau dirinya sedang tidak ada di kamar.
Jugul menyapu pandang kondisi jalan. Dia heran, mengapa tidak nampak satupun teman. Lengang. Sedikit terang karena cahaya lampu dari teras beberapa rumah menyiram sebagian badan jalan.
"Mengapa sepi nian," kata Jugul sembari celingukan, mencoba menangkap sosok teman-temannya di antara rumah-rumah berukuran sedang dan saling berdempetan. Tak satupun kelihatan.
Jugul yakin baru jam enam. Ambang sore dan senja. Belum benar-benar masuk malam. Tadi, sewaktu ibunya menjemputnya di jalan dan menyuruh pulang, belum terlalu sore. Jugul disuruh pulang lantaran harus mengerjakan tugas sekolah. Guru mengirim surat mengenai kealpaan Jugul.
Sempat menolak, Jugul akhirnya pulang. Dia paham, ibunya tak bisa dilawan. Pernah dia mencoba menawar perintah, tapi tidak berhasil. Argumentasinya selalu mentok. Jugul memang suka menanyakan alasan mengapa begini atau begitu sebelum melakukan sesuatu. Dia suka logika. Paling kesal kalau mencium ada rekayasa.