Gejala fisik bisa saja muncul. Dalam kasus yang parah, kata Cleveland Clinic, ia bisa menyebabkan perubahan pernapasan atau sesak napas (dyspnea), nyeri atau sesak dada, menggigil atau berkeringat dingin, hiperventilasi, jantung berdebar-debar, mual atau muntah, gemetar atau tremor yang tidak terkendali.
Penderita somnifobia dianjurkan menemui spesialis tidur dan psikiater. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui serangkaian uji oleh penyedia layanan kesehatan, lewat pertanyaan-pertanyaan seputar iya atau tidak takut tidur.Â
Yakni dengan melacak seberapa baik atau buruk kualitas tidur seseorang, apakah rasa takut itu mengambilalih fokus dari tugas sehari-hari, sudah berapa lama berlangsung (sudah enam bulankah atau lebih), apakah kondisi itu mengganggu hubungan, pekerjaan, sekolah, atau tanggung jawab lainnya. Juga, apakah terjadi stres atau kecemasan yang terus-menerus dan secara negatif memengaruhi kesehatan emosional atau fisik.
Pengobatan somnifobia mirip dengan pengobatan fobia spesifik lainnya, seperti obat untuk mengurangi kecemasan atau penurun frekuensi detak jantung (contohnya beta blockers seperti propranolol) atau obat penenang atau sedatif (contohnya preparat benzodiazepine seperti alprazolam, yang efeknya jangka pendek).
Tidak ada cara untuk mencegah somnifobia. Yang bisa dilakukan adalah mengusahakan tidur lebih baik dengan kebiasaan hidup yang sehat. Hindari terlalu sering menggunakan gadget atau televisi, setidaknya hindari mereka satu jam sebelum waktunya tidur, konsumsi makanan bergizi baik dan seimbang, berolahraga teratur, batasi kafein dan alkohol karena dapat mempengaruhi siklus tidur, dan tidurlah dalam suasana yang nyaman dan gelap. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H