Dia membuka percetakan, karena bisnis konveksinya berhenti akibat ada orang dalam yang "curang". Dia membayari hutang akibat kerugian. Sendirian, setelah ayahnya meninggal. Tanah dan emas-berlian simpanan hasil usaha kala jaya-jayanya, terjual satu persatu.
Triana membanting tulang, namun tidak pernah mengeluh. Dia kerapkali berbicara empat mata dengan ibunya, soal keuangan keluarga. Tidak ada adiknya yang boleh tahu. Dia ingin semua adiknya fokus pada sekolah.
Dia seperti tidak memikirkan kebutuhannya sendiri. Yang serba-murah untuknya, yang terbaik untuk keluarga. Ketika rumah kebakaran, seisinya ludes, Triana tidak mengeluh. Dia mencari pinjaman ke sana-sini dan dari tahun ke tahun tutup-gali lubang.
Triana ikut berkontribusi untuk urusan di luar sekolah, untuk ibu, adik-adik, dan kerabatnya. Termasuk untuk urusan pernikahan, kematian, adat, dan lainnya. Saudara dari kampung masih silih berganti datang dan pergi. Jika ada yang bertamu, Triana wajib menjamu.
"Karena belas kasihan," kata Triana ketika suatu kali ditanya mengapa dia mau membantu begitu banyak orang, padahal dirinya sendiri kekurangan.
Suatu hari, Triana divonis harus cuci darah. Dia menjalaninya dengan tabah. Ketika tunnel untuk cuci darah dilakukan di paha, yang terkenal paling sakit dari seluruh prosedur, Triana tidak mengeluh. Juga ketika prosesnya dipindahkan ke bagian leher kanan, yang risih dan sakit.
Dua tahun, kondisinya makin parah. Bibirnya tertutup rapat, kendati kondisinya memburuk dari waktu ke waktu: pergelangan kakinya terkilir dan tidak mungkin dipasangi pin lalu digips; terkena stroke, tangan kanannya lunglai; jari kakinya luka, tidak sembuh-sembuh, menghitam, akhirnya diamputasi (satu jari menjadi dua, hingga dia berkata "tidak" untuk jari ketiga).
Berkali-kali kondisi sulit terjadi, berkali-kali Triana memenangi situasi. Selagi kaki dan tangannya masih bisa bergerak, dia bekerja. Sekalipun di kursi roda dan sebelah tangan lunglai, dia tetap ke dapur, memasak. Di meja makan, dia menyiangi wortel dan sayuran lain untuk diolah.
Pada hari-hari terakhirnya, Triana kurang nafsu makan. Sering mual dan muntah. Dia melemah. Di rumah sakit, dia gelisah, tetapi tidak mengeluh.
Dia masih berusaha menggeser-geser tubuh. Keluarga membantu. Hingga pada suatu titik, matanya yang besar bundar tidak menutup lagi. Begitu cantik. Mata superindah, yang melahap derita keluarga dan menyimpan sejuta rahasia tentang kepenatannya.
Dia tertidur. Kali ini tidak terbangun.