Dalam nas itu tegas dikatakan "Apabila saudaramu berbuat dosa ...". Jadi, bukan atas prasangka. Untuk mengatakan sesuatu itu "dosa atau tidak dosa", kita harus berhati-hati. Jika tidak, kita bisa terjerat pada sikap "menghakimi" orang lain.
Lagi, yang dimaksud berbuat dosa dalam konteks itu adalah jika orang itu "berbuat dosa terhadap kamu" (ayat 15: “If your brother sins against you, go and tell him his fault, between you and him alone") dan "ada saksinya" (ayat 16: "But if he does not listen, take one or two others along with you, that every word may be confirmed by the evidence of two or three witnesses").
Jika tahapannya baru sebatas prasangka dan hal itu terkait dengan pemimpin gereja, Alkitab juga sudah memberitahukan cara kita menyikapinya sebagai anak-anak Kasih. "Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu."Â (Ibrani 13 ayat 17)
Kita mengenal Presiden sebagai orang yang sudah dipilih oleh rakyat. Bahwa seseorang menjadi Presiden, meskipun prosesnya merupakan hasil voting, itu terjadi atas seijin Allah. Kita sebagai anak-anak Kasih idealnya "percaya segala sesuatu" dan menerapkan SOP kasih.
Begitu pula dalam menyikapi persoalan yang muncul dalam kepemimpinan gereja, misalnya. Pendeta adalah pemimpin, yang patut dihormati. Mereka adalah gembala, yang atas seijin Tuhan melayani di suatu tempat. Gembala bertanggungjawab terhadap semua domba yang digembalakannya. Jika ada satu saja domba yang hilang atau tersesat, gembala yang baik akan mencarinya hingga menemukannya.Â
Sebagai jemaat, anak-anak Kasih ikut mendoakan agar wibawa Kasih selalu terlihat dalam diri para pemimpin gereja dan apa yang dilakukan oleh mereka. Anak-anak Kasih meminta Tuhan senantiasa menyiapkan hati mereka sebagai lahan persemaian yang subur, sehingga setiap kali perbuatan kasih dinyatakan, setiap kali mendengar Firman, semua itu menjadi benih-benih yang siap bertumbuh dan menghasilkan buah.
Adanya SOP juga menyiratkan "siapa melakukan apa". Biarlah setiap orang bekerja sesuai dengan deskripsi tugasnya. Tidak ada yang hina di dunia ini, kecuali orang yang "menghinakan dirinya sendiri" dengan melakukan sesuatu di luar SOP kasih. (Maaf, itu cuma ekspresi ekstrem rumusan saya). Indah sekali mendapatkan bahwa dalam suatu komunitas, setiap orang mengerjakan tugasnya dengan sukacita, penuh tanggungjawab, saling menopang, dan selalu mengingat bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai tanda kasih kepada Tuhan karena Tuhan sudah mengasihi dirinya lebih dulu.
Kasih Tuhan kepada kita antara lain termanifestasi dalam pengampunan tanpa batas. Allah mengajarkan kita untuk mau juga mengampuni orang lain.Â
"Tanpa batas," kata Pdt. M. Nainggolan dalam khotbah di HKBP Cibinong pekan lalu. Nainggolan mengutip apa yang dikatakan dalam Matius 18 ayat 21, bahwa Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengampuni bukan sampai tujuh kali seperti yang ditanyakan Petrus. Â "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."
Menurut Nainggolan, "tujuh" merupakan angka sempurna. Nas itu berkonotasi ketiadaan batas dalam mengampuni orang lain, terlebih saudara kita sendiri. Yang secara tidak langsung berkonotasi pada ketiadaan batas dari arti Kasih. Hal "mengampuni" termasuk yang tersulit dalam aplikasi kasih.
Kasih dan Persatuan