2 Mei adalah hari pendidikan nasional, maka wajar bila saat itu banyak berita soal pendidikan. Tidak semua menggembirakan. Yang saya tahu adalah bagaimana pelajar SMK di sebuah daerah menghajar sendiri sekolahnya karena tidak lulus UN. Selain itu, BHP dikabarkan rontok di tengah jalan, akibatnya ”Planning pendidikan nasional jadi rada acak-acakan”, terang teman saya yang bekerja di kementerian pendidikan nasional.
Sebagai penonton, saya cuma bisa ngopi, ya paling-paling ghibah sekali-kali. Untung ada Mukhlis, salah satu marketing executive di warung makan tempat saya ngopi. Ia pernah mesantren di daerah Malang. Tak lama, cuma tiga tahun. Jadi ghibah saya rada-rada berat, maksudnya; nyenggol sedikit masalah akhirat.
”Wis suruh puasa aja mas para pengurus pendidikan itu!” kata Mukhlis. ”Lho kok puasa Klis? Ndak ada hubungannya tho...”. ”Ada mas. Mengurus dan memutuskan masalah pendidikan itu seperti halnya menunjukkan surga-neraka. Itu nek kata kyai saya. Lha gimana bisa tau surga-neraka kalau ndak suci, ndak tirakat. Kyai saya mau mbangun pesantren kecil saja pake tirakat lho, ini mikir seluruh negara mosok ndak pake tirakat”.
Saya mulai mumet dengan ide Muklish. ”Klis, biasanya kalau masalah pendidikan nasional itu mesti hubungannya dengan link and match kae, terus penyediaan lapangan kerja, rasio pengangguran dan pendapatan per kapita. Pokoke sing angel-angel alias susah ngono kuwi lho Klis. Ndak ada ngomong surga-neraka...”, protes saya. Dia segera balik bertanya, ”Mosok sampeyan yang sarjana ndak mikir surga-neraka itu susah mas?”. Wah...
”Lagipula itu kan sama saja ngawurnya dengan saya alias ndak ada hubungannya mas. Saya ini masih apal pembukaan UUD Republik, pendidikan itu kaitannya dengan tujuan negara; mencerdaskan kehidupan bangsa. Ndak ada hubungannya dengan masalah opo kuwi? link and match? terus pendapatan per kapita, penciptaan lapangan kerja dan ublekuwek yang saya ndak ngerti itu”. Bener juga, tapi... ”Kayaknya ndak begitu deh Klis”, kata saya.
”Mas, pendidikan itu masalahnya ilmu. Waqi’, gurunya Imam Syafi’i, pernah menasihati kalau ilmu itu Nur Alloh. Dan nur itu tidak akan dekat pada orang yang berma’siat. Cahaya itu memberi terang, hingga mata bisa memandang. Kalau gelap, mata tidak bisa melihat, paling mengandalkan angan-angan. Kalau ndak pake puasa, bisa-bisa urusan ilmu itu malah bikin kita buta”.
”Contohnya Klis...”. ”Misalnya kisah Arjuna dan Ekalaya. Ekalaya adalah seorang raja yang ditolak menjadi murid sekolah elit Dorna. Teguh ingin menjadi murid Dorna, Ekalaya membuat patung yang mirip dengan Dorna dan menyembahnya tiap hendak belajar. Waktu berperang melawan Arjuna, Ekalaya mengaku menjadi murid Dorna. Arjuna menertawakan Ekalaya, lha wong Arjuna ndak pernah liat batang hidung Ekalaya di sekolahnya. Tapi nyatanya, Ekalaya tak mampu ditandingi Arjuna yang anehnya adalah murid paling pintar di sekolah Dorna. Perkaranya Arjuna tak mampu memahami arti murid; seorang yang ingin. Murid baginya adalah berguru pada Dorna, guru ter-elit. Lha banyak tho murid-murid sekarang yang sudah merasa jos tenan kalau sekolah di sekolah elit? Bahkan orang tua meyakini kalau nama sekolah itu jaminan. Terserah anaknya pengen atau tidak. Ndak banyak murid sejati kayak Ekalaya itu, tak peduli Dornanya patung atau nggak, yang penting dia ingin belajar”
Saya cuma manggut-manggut...
”Contoh lagi mas. Kanjeng Nabi Musa ’Alaihissalam pernah mengangankan dirinya paling pinter. Alhasil, langsung ditegur Gusti Alloh untuk menemui Khidr ’Alaihissalam yang mendapatkan ilmu langsung dari Alloh. Lha kalau ilmu cuma dilihat sebagai masalah pinter ndak pinter, sudah bukan ngurusi ilmu itu mas. Barokahnya paling begini... Kalau lulusan sekolah seni dibilang seniman, nggak sekolah dianggap pengrajin. Padahal hasilnya sama-sama dilihat atau diraba. Saya ini pasti sampeyan sebut bakul sego alias tukang jual nasi, lha kalau lulusan sekolah masak disebut koki atau chef. Padahal yo podo wae hasilnya dimakan. Apa cuma segitu kesaktian aturan pendidikan kita?”.
”Jadi ilmu itu pada akhirnya harus mendudukkan manusia sama?” tanya saya.
”Justru ndak begitu mas. Ilmu itu harusnya malah membedakan manusia, bahwa manusia itu punya kadar dan caranya sendiri-sendiri. Lha kalau manusia dianggap sama, semua bisa dibuat pinter dan tidak pinter. Akhirnya pada sibuk menentukan mana yang pinter dan tidak, lalu ada istilah sekolah elit. Semua pengen sekolah di sekolah elit. Kemudian murid yang kudunya belajar laut, malah belajar sawah, gara-gara dia masuk universitas persawahan yang jadi sekolah elit...”
”Jadi kalau bisa, puasa atau tirakatan Klis?”. ”Wah iya mas, jelas!”. Saya diam, lalu sedikit menerawang, ”Tapi bisa ndak ya? Lha wong yang ngurus pendidikan itu, anggarannya sekarang paling gede setanah air...”. "Atau mereka sudah tirakat mas, lha wong anggarannya gede, tapi ada saja berita sekolah yang tidak terurus...", sambar Mukhlis. "Hush..! wis..wis Khlis, sudah wallohu a’lam ajalah” [ ]
*Ketika anggaran pendidikan masih terbesar prosentasenya (tapi berkurang jumlahnya) tanggal 16 Agustus kemarin, saya masih belum lupa pada tulisan saya tentang Mukhlis yang tidak terlalu pusing apakah anggaran pendidikan dia rasakan atau tidak, seraya meyakini dengan hati bahwa dia tetap mesantren, tetap sekolah, sepanjang pada Kanjeng Nabi Muhammad, Nabi Khidr dan para wali, ia berkirim Alfatihah. Sebuah hal yang mengingatkan saya pada kisah Ekalaya...
**maaf terlalu panjang, sepanjang tarikan rokok dan sruput kopi, semoga berguna untuk ziarah diri malam ini...monggo...bismillah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H