Kekerasan di sekolah sebenarnya bukanlah hal baru, terlebih bagi kita-kita yang kelahiran 80-90 an. Pasalnya kita harus akui bahwa selain keluarga, lingkungan sekolah merupakan miniatur kecil dari kehidupan sosial yang ada.
Berbagai persoalan orang dewasa, maupun pelanggaran sebenarnya ada juga di lingkungan sekolah. Katakanlah jika kita ingin bicara lingkungan kerja saat ini, atau di lingkungan kantor, pasti ada orang berwatak kemayu, ada yang keras, ada suka julid, ada yang suka ghibah, atau ada yang suka mengambil hak orang.
Maka sama juga dengan lingkungan sekolah, dimana semua adalah anak-anak yang sedang bertumbuh dan berkembang, baik secara fisik dan mentalnya. Mereka tak jarang belum benar-benar paham apa itu sakit dan menyakiti, atau benar dan salah. Belum begitu mahfum juga bagaimana memperbaiki kesalahan mereka sendiri.
Faktor Pemicu Munculnya Kekerasan di Sekolah
Kekerasan di lingkungan sekolah pastinya tidak hadir begitu saja tanpa ada faktor pemicunya. Karena kita pahami bersama, bahwa anak adalah canvas putih yang kita lukis sebagai orang dewasa, pun dengan lingkungan sekitarnya. Â Didikan sejak bayi, balita sudah mulai menjadi warna yang ditorehkan di atas canvas ini.
Belum lagi lingkungannya, yang sudah psti sedikit banyak akan sangat menorehkan ingatan dan memori di dalam benaknya, ibarat percikan warna di atas canvas yang tak hilang. Oleh sebab itu, perlu kita ketahui juga, apa saja sih faktor pemicu munculnya kekerasan oleh anak di sekolah.
Berikut ini saya rangkum faktor pemicu munculnya kekerasan oleh anak di sekolah dari berbagai sumber antara lain :
1. Lingkungan Keluarga
Seperti yang tadi saya sampaikan, bahwa keluarga atau rumah tangga adalah sumber awalnya. Karena banyak sekali sumber referensi yang menuliskan bahwa Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang keras atau mengalami kekerasan cenderung meniru perilaku tersebut di sekolah.
Selain itu, Orang tua yang kurang memberikan perhatian atau pengawasan terhadap anak dapat menyebabkan anak mencari perhatian di luar, termasuk dengan cara kekerasan. Sadar atau tidak, kadang anak-anak pun tidak sadar bahwa dirinya sedang mencari perhatian meskipun dengan cara yang salah.
2. Pengaruh Teman Sebaya
Untuk yang ini, tentu saja kita bicara lingkungan , dimana anak bergaul dan berinteraksi sehari-hari. Tak jarang, Keinginan untuk diterima oleh kelompok atau teman sebaya dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan kekerasan. Karena si anak pada dasarnya belum paham, bahwa yang dilakukannya salah.
Belum lagi dengan adanya perilaku Bully yang dianggap sepele. Anak yang menjadi korban bullying seringkali akhirnya menjadi pelaku kekerasan sebagai bentuk pelampiasan.
3. Faktor Pribadi
Ada juga faktor dari internal si anak, dimana si anak tak jarang memiliki Emosi yang Tidak Terkendali. Anak yang kesulitan mengontrol emosi, seperti kemarahan atau frustrasi, lebih rentan terlibat dalam kekerasan. Selain itu, Masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, atau gangguan perilaku juga berkontribusi terhadap perilaku agresif.
Belum lagi ketika si anak belum paham bagaimana caranya berkomunikasi yang baik, untuk membagi apa yang sedang terjadi pada dirinya. Maka tak jarang pikiran untuk berjalan sendiri melalui tindakan kekerasan menjadi pilihan.
4. Kondisi Sekolah  Yang Kurang Respon dan Budaya "mendiamkan"
Di area sekolah, seringkali saya jumpai Kurangnya Pengawasan dari Pihak Sekolah. Dalam konteks pengalaman saya, beberapa kali saya perhatikan siswa mengadu kepada guru karena diganggu misalnya, atau kerap dibully, dianggap sesuatu yang melebih-lebihkan oleh si anak.
Padahal, Respon dari guru di sekolah bisa menjadi penentu bagi si anak dalam bertindak. Pikiran simple mereka yang masih belum matang bisa jadi akan memikirkan dua hal yaitu  "kalau guru tidak membantu, saya atasi sendiri" atau pilihan kedua "lebih baik saya mati daripada terus seperti ini".
Faktanya, Menurut UNICEF sekitar 40% dari kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2020 dilatarbelakangi oleh perundungan alias bullying. Kurangnya pengawasan yang ketat di sekolah memungkinkan terjadinya kekerasan antar siswa sebagai bentuk pelampiasan.Â
Budaya sekolah yang permisif terhadap kekerasan, misalnya dengan pembiaran, dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi siswa. Juga, Sekolah yang tidak menekankan pentingnya etika, empati, dan pengendalian diri dapat membuat siswa tidak memahami dampak dari kekerasan.
Kurangnya Regulasi atau Aturan yang Tegas tentang kekerasan memungkinkan anak untuk bertindak sesuka hati. Belum lagi ada budaya mendiamkan yang ditunjukkan dengan tidak ada tindakan atas pengaduan siswa atau murid.
5. Pengaruh Media dan Teknologi
Konten Kekerasan di berbagai Media juga tak kalah mempengaruhi perilaku kekerasan di kalangan pelajar. Paparan terhadap konten kekerasan, baik di televisi, film, atau media sosial, dapat mendorong anak untuk meniru perilaku tersebut.Â
Psikologi anak yang masih belum matang dalam berfikir, membuat mereka kadang merasa kekerasan seakan adalah sebuah tren yang membuat mereka terlihat keren dan berkuasa.Â
Tak hanya fisik, budaya Cyberbullying melalui Teknologi seperti ponsel dan media sosial membuka jalan baru untuk kekerasan, seperti perundungan online yang sulit terdeteksi.
6. Faktor Sosial dan Ekonomi
Ketidaksetaraan Sosial juga menjadi penyebab lain, kesenjangan sosial dan ekonomi di antara siswa dapat memicu perasaan iri atau rendah diri yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kekerasan.
Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan atau lingkungan penuh tekanan seringkali menyalurkan emosi negatif mereka di sekolah, karena di rumah mereka mendapatkan tekanan yang berujung stress.
Pentingnya Anak Belajar Beladiri
Anak belajar beladiri itu sangat penting? Mengapa? Karena kekerasan terhadap anak itu dapat terjadi di mana saja, tidak hanya di lingkungan sekolah. Langkah antisipatif dengan membekali anak kemampuan beladiri dapat menjadi alternatif yang baik bagi si anak maupun orang tuanya.
Faktanya, apabila kasus kekerasan terhadap anak kita terjadi di sekolah misalnya, dengan posisi anak kita sudah terluka, tentu saja sebagai orang tua kita akan merasa sakit juga. Wong anak sudah babak belur.
Bahkan yang lebih parah, ada yang anaknya sampai cacat dan meninggal akibat aksi bullying di sekolah. Pada tulisan ini jujur saya ingin menekankan terkait dengan beladiri anak secara fisik ya, artinya bagaimana anak mampu melawan ketika dirundung. Dalam konteks minimal melawan dengan siswa seusianya atau setingkat di atasnya.
Saya pribadi, rela berkorban bayar guru privat untuk melatih kedua buah hati saya belajar ilmu beladiri. Karena saya berkaca, bahwa tidak semua kasus kekerasan siswa itu pada akhirnya berakhir dengan damai dan baik- baik saja. Berakhir damaipun kalo sudah babak belur pasti sakit hati juga. Apalagi sampai cacat.
Oleh sebab itu, saya lebih memilih mendidik anak saya untuk mulai menyadari, bahwa sebagai orang tua saya tidak selalu akan membersamai mereka apalagi ketika di sekolah atau di tempat bermain. Sehingga, mereka harus mampu untuk melawan ketika disakiti secara fisik, dalam rangka membela diri.
Meski demikian, bimbingan bahwa tidak memukul sebelum diganggu atau dipukul menjadi sebuah keharusan. Agar anak yang sudah mampu dan punya ilmu beladiri, tidak berfikir untuk menyalahgunakan kemampuannya.
Bagi saya pribadi dan mungkin sebagian orang tua yang sadar akan hal ini, langkah antisipatif dalam menghindarkan anak kita dari perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak lain menjadi sebuah keharusan.Â
Faktanya, tidak semua orang tua sadar bahwa anak mereka mampu menyakiti anak orang lain, dan tidak semua orang tua juga paham bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan anaknya sangat merugikan orang lain. Bahkan tidak sedikit juga orang tua yang menganggap  tindakan tak terpuji anaknya adalah hal biasa, "ah, namanya juga anak-anak, biasa pukul-pukul sedikit".
Nah seringnya, orang tua dari si anak pelaku ini kadang tak terima anaknya disalahkan, dengan alasan tadi. Maka kadang saya berfikir, bahwa mungkin memang urusan anak-anak harus di selesaikan antar sesama anak, dalam konteks : anak seusianya, tidak ada senjata dan tentu saja tidak ada aksi keroyokan". Â
Karena meskipun anak-anak saya sudah saya didik betul bahwa mengganggu dan mengambil hak orang lain itu adalah hal yang sangat tidak baik, namun belum tentu orang tua teman-temannya juga menanamkan hal itu ke anak mereka. Belum tentu juga mereka mendapatkan perhatian yang cukup seperti anak-anak saya.
Oleh sebab itu, saya pribadi merasa sangat baik sejak dini anak-anak diajarkan bisa dan paham pentingnya membela diri sendiri. Tidak hanya untuk kesehatan fisik namun juga untuk mental mereka nantinya.
*Bagi para orang tua yang anak-anaknya punya perilaku sering membully atau hidup di lingkungan yang penuh kekerasan, ingatlah untuk lebih dekat dengan anak, dan beri perhatian yang dibutuhkan. Karena Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tak kekurangan ruangan untuk merampas kebebasan mereka, jika terbukti melanggar hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H