Belum lagi ketika si anak belum paham bagaimana caranya berkomunikasi yang baik, untuk membagi apa yang sedang terjadi pada dirinya. Maka tak jarang pikiran untuk berjalan sendiri melalui tindakan kekerasan menjadi pilihan.
4. Kondisi Sekolah  Yang Kurang Respon dan Budaya "mendiamkan"
Di area sekolah, seringkali saya jumpai Kurangnya Pengawasan dari Pihak Sekolah. Dalam konteks pengalaman saya, beberapa kali saya perhatikan siswa mengadu kepada guru karena diganggu misalnya, atau kerap dibully, dianggap sesuatu yang melebih-lebihkan oleh si anak.
Padahal, Respon dari guru di sekolah bisa menjadi penentu bagi si anak dalam bertindak. Pikiran simple mereka yang masih belum matang bisa jadi akan memikirkan dua hal yaitu  "kalau guru tidak membantu, saya atasi sendiri" atau pilihan kedua "lebih baik saya mati daripada terus seperti ini".
Faktanya, Menurut UNICEF sekitar 40% dari kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2020 dilatarbelakangi oleh perundungan alias bullying. Kurangnya pengawasan yang ketat di sekolah memungkinkan terjadinya kekerasan antar siswa sebagai bentuk pelampiasan.Â
Budaya sekolah yang permisif terhadap kekerasan, misalnya dengan pembiaran, dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi siswa. Juga, Sekolah yang tidak menekankan pentingnya etika, empati, dan pengendalian diri dapat membuat siswa tidak memahami dampak dari kekerasan.
Kurangnya Regulasi atau Aturan yang Tegas tentang kekerasan memungkinkan anak untuk bertindak sesuka hati. Belum lagi ada budaya mendiamkan yang ditunjukkan dengan tidak ada tindakan atas pengaduan siswa atau murid.
5. Pengaruh Media dan Teknologi
Konten Kekerasan di berbagai Media juga tak kalah mempengaruhi perilaku kekerasan di kalangan pelajar. Paparan terhadap konten kekerasan, baik di televisi, film, atau media sosial, dapat mendorong anak untuk meniru perilaku tersebut.Â
Psikologi anak yang masih belum matang dalam berfikir, membuat mereka kadang merasa kekerasan seakan adalah sebuah tren yang membuat mereka terlihat keren dan berkuasa.Â
Tak hanya fisik, budaya Cyberbullying melalui Teknologi seperti ponsel dan media sosial membuka jalan baru untuk kekerasan, seperti perundungan online yang sulit terdeteksi.
6. Faktor Sosial dan Ekonomi
Ketidaksetaraan Sosial juga menjadi penyebab lain, kesenjangan sosial dan ekonomi di antara siswa dapat memicu perasaan iri atau rendah diri yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kekerasan.
Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan atau lingkungan penuh tekanan seringkali menyalurkan emosi negatif mereka di sekolah, karena di rumah mereka mendapatkan tekanan yang berujung stress.