Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Melihat Diversi sebagai Solusi, Ketika Anak Berhadapan Dengan Hukum

27 Juni 2024   08:16 Diperbarui: 27 Juni 2024   11:12 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah bertugas selama 10 tahun di Pemasyarakatan, yang notabene bertugas memberikan bimbingan da pembinaan bagi mereka yang pernah tersesat, membuat saya lebih bijak menyikapi banyak hal. Termasuk menyikapi bagaimana kenakalan remaja itu bermula atau faktor pendukungnya.

Tak jarang ketika ada kunjungan Monev ke Lapas dan Rutan atau LPKA pikiran saya melihat begitu banyak sisi lain kehidupan. Bahwa yang saya tonton dari film-film itu memang nyata ada di sekitar saya.

Khususnya, cerita tentang anak-anak yang berhadapan dengan Hukum, karena tindak kriminalitas yang entah sengaja ataupun yang tak disengaja. Meskipun masih tergolong di bawah umur, namun mereka terjebak di balik dinding LPKA atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (dulu Lapas Anak sebutannya).

Baca juga : Menyikapi Hobi Main dan Kecerdasan Emosi Anak Laki-Laki

Yang membuat saya miris dan sering berpikir panjang tentang banyak pertanyaan. Bagaimana masa depannya, akan seperti apa nantinya, bagaimana dia memulihkan dirinya setelah bebas nanti. Bagaimana hidupnya setelah ini? Dan semua pertanyaan itu harus kami jawab melalui pembinaan.

Kami di Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang menaungi Lapas, Bapas, Rutan maupun LPKA memang punya tugas yang tak ringan.

Sebagai penampungan akhir dari sistem peradilan yang bertugas melaksanakan pembinaan kepada mereka yang berstatus Narapidana, kami pun punya yang lebih berat lagi tentang membantu perbaikan hidup, penghidupan dan kehidupan mereka setelah bebas nanti.

Termasuk para anak-anak ini, para generasi penerus bangsa yang salah mengambil jalan dan arah. 

Mengenal Diversi

Kata Diversi mungkin masih asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang awam tentang hukum. Padahal Diversi merupakan salah satu langkah untuk memberikan kesempatan kedua bagi seorang anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyadari kesalahannya tanpa harus di pidana (red: masuk penjara). Entah itu karena kesalahan atau pelanggaran hukum yang dibuatnya itu dilakukan secara tidak sengaja maupun sengaja,

Apa itu Diversi?

Diversi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi merupakan langkah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Tujuan Diversi

Adapun beberapa tujuan Diversi antara lain :

  • mencapai perdamaian antara korban dan anak pelaku;
  • menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
  • menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
  • mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelesaian tindak pidana anak; dan
  • menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak pelaku itu sendiri.

Bagaimana Proses Diversi dilakukan?

Perlu dipahami bahwa penyelesaian pidana anak melalui diversi dilakukan dengan pendekatan restoratif dimana pelaksanaannya lebih mengedepankan musyawarah dan melibatkan semua pihak terkait seperti anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial (PEKSOS) Profesional, perwakilan dan pihak terlibat lainnya agar tercapai kesepakatan diversi dan menghindarkan anak di pidana atau menjalani hukuman pidana.

Dengan kata lain, Musyawarah Diversi adalah penyelesaian tindak pidana anak melalui konsep dialog antara semua pihak sehingga menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang mengedepankan keadilan restoratif.

Dalam pelaksanaan Dialog atau musyawarah sangat diperlukan fasilitator, dalam hal ini fasilitator dimaksud adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.

Dalam PERMA Nomor 04 tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak dengan kategori telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi yang mewajibkan fasilitator untuk dapat memberikan kesempatan kepada:

  1. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan;
  2. Orang tua / wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan;
  3. Korban / anak korban / orang tua / wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

Diversi dinyatakan berhasil apabila tercapai kesepakatan dari kedua belah pihak (pelaku dan korban) pada saat musyawarah dan sesuai dengan rekomendasi Laporan Hasil Penelitian Pembimbing Kemasyarakatan (PK Bapas).

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan atau pelaksanaan kesepakatan tidak dipenuhi seluruhnya, maka Hakim dapat melakukan pemeriksaan perkara sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak berdasarkan laporan PK.

Di samping itu, dalam mencapai keadilan restoratif, pelaksanaan diversi dapat di selesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu atau berupa tindakan lainnya yang dilakukan dengan tujuan untuk pemulihan bagi anak serta korban.

Ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman, hak-hak anak tersebut tidak boleh diabaikan, sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.

Keadilan Restoratif 

Keadilan Restoratif sendiri didefinisikan sebagai "penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi.

Maka masyarakat perlu tahu dan paham bahwa ada alternatif lain yang bisa ditempuh jika memiliki anak atau keluarga dengan kategori anak terlibat permasalahan hukum agar sebisa mungkin tidak melalui jalur Hukum Pidana melainkan mengambil langkah keadilan restoratif melalui proses Diversi (musyawarah bersama).

Bagaimana cara mengakses Diversi?

UU SPPA yang mengatur Diversi sudah di sosialisasikan ke seluruh Aparatur Penegak Hukum (APH) yang meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Kemenkumham, sehingga secara otomatis apabila terjadi perihal anak berhadapan dengan hukum atau melanggar hukum, maka APH akan langsung mengupayakan proses diversi terlebih dahulu, dengan menghubungi pihak-pihak terkait yang salah satunya PK (pembimbing Kemasyarakatan) untuk dapat dilakukan pendampingan. 

Contoh di tingkat kepolisian, maka polres atau polsek terkait akan bersurat kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk meminta petugas PK mendampingi dan melakukan Litmas (penelitian Kemasyarakatan) terhadap si anak pelaku ini.

Selanjutnya, apabila anda masih butuh informasi seputar Diversi dapat mengunjungi layanan informasi atau Konsultasi yang ada di instansi APH terkait atau datang langsung ke Kanwil Kementerian Hukum dan HAM terdekat atau ke Kantor Balai Pemasyarakatan terdekat di wilayah anda.

Pemahaman dan Kepedulian Publik

Ada hal besar yang tak terlihat, yang sangat ingin saya garis bawahi bagi pembaca budiman di manapun anda berada. Kadang kita begitu cepat melayangkan judgment atau penghakiman atas tindak kriminalitas yang dilakukan oleh seorang anak.

Padahal tak jarang kita lupa, bahwa tindakan itu berawal selalu dan pasti dari rumah kita sendiri. Barulah kemudian faktor pendukungnya lingkungan, baik lingkungan sekolah, bermain maupun lingkungan masyarakat.

Tak jarang kita kemudian beranggapan dan memberikan komentar klasik seperti "anak ini nakal dari kecil", atau "orang tuanya mungkin ga ngajarin", bahkan "kecil-kecil sudah brandalan".

Namun kita lupa, ada peran kita juga atas apa yang terjadi kepada anak-anak ini, yang otak dan hatinya kadang belum sepenuhnya paham benar dan salah, tepat atau tidak.

Memang jika melihat banyaknya kasus kriminalitas anak hari ini dan jenis kejahatan yang dilakukan, kita harusnya menyadari bahwa ada yang salah dalam tatanan kepedulian kita sebagai warga negara dan masyarakat. Kita kurang paham dengan bagaimana mengantisipasi pola perilaku anak yang buruk.

Sebagai orang tua kita kurang paham bagaimana ilmu parenting yang akan membuat mereka tetap berada di koridor yang seharusnya. Kita sebagai masyarakat kurang peduli untuk menciptakan lingkungan yang penuh empati. Kita sebagai warga negara kurang peduli juga dengan bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif sebagai pendukung terciptanya generasi yang tertib.

Contohnya saja, pembatasan akses terhadap tontonan yang kurang mendidik dari pihak yang berwenang, tontonan yang tak menanamkan moral lebih bergentayangan di berbagai media bahkan siaran televisi, sinetron-sinetron minim moral dan etika, bahkan lingkungan di daerah yang masyarakatnya sulit kompak memberantas judi.

Atau contoh lain yang sedang populer saat ini, maraknya tawuran hanya karena hal-hal sepele. Meskipun yang menarik bagi saya, ketika emak-emak berdaster berhasil membubarkan mereka, maka bagaimana jika bapak-bapak bersarung pun bisa ikut andil, atau pegawai berdasi dan orang kantoran pun kompak membasmi hal ini.

Seandainya semua paham akan perannya dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan para generasi penerus bangsa ini, dan peduli bagaimana lingkungan bisa sangat mempengaruhi, saya rasa kita akan sepakat, bahwa kemungkinan jumlah hunian di LPKA tiap tahunnya bisa terus berkurang bahkan minim.

Jika semua paham perannya, maka proses diversi akan lebih cepat terlaksana dan selesai. Imbasnya, pemulihan bagi anak dalam menjalani hidupnya lebih optimal. Peluang mereka kembali ke jalan yang benar pastinya lebih terbuka lebar, dan kembalinya harapan untuk meraih cita-cita dan impian yang lebih besar.

*Teruntuk anak-anak muda gen penerus bangsa, tetaplah menapaki jalanmu dengan lurus, ingatlah ada cita-cita yang harus dicapai, pun dengan mimpi yang ingin kalian kejar.

Artikel sejenis juga telah saya posting di situs ntb.kemenkumham.go.id dengan judul "Diversi: Haruskah Anak Masuk Penjara Bila Melanggar Hukum?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun