Belakangan saya merasa bahwa syndrome baby blues ini menjadi begitu populer. Bahkan saya pribadi, sejujurnya baru menyadari bahwa apa yang menimpa saya beberapa tahun lalu dalam tiga kali kesempatan melahirkan anak.
Bahasan Syndrome baby blues ini juga mulai menjadi topik hangat yang diperbincangkan, tidak hanya di kalangan ibu-ibu muda masa kini namun juga para orang tua lainnya sebelum generasi milenial.
Lalu apa itu Baby blues syndrome? Siapa yang sebenarnya terkena? Apa dampaknya bagi si Ibu dan anak? Apa sih peran penting dukungan keluarga terdekat dalam mengatasinya?
Langsung saja, simak penjelasan berikut ini.
Syndrome Baby Blues dan Gejalanya
Dilansir dari laman bunda.co.id, Baby blues syndrome atau baby blues adalah suatu gangguan suasana hati atau gangguan psikologis yang dapat dialami oleh Ibu pasca melahirkan, seperti merasa gundah dan sedih yang berlebihan. Kondisi ini menyebabkan si Ibu menjadi mudah marah, sedih, menangis, dan kelelahan tanpa penyebab jelas.
Sebenarnya saya kurang setuju jika dikatakan penyebab tak jelas, karena faktanya pasca melahirkan itu sangat melelahkan. Lelah fisik, lelah emosi dan juga lelah otak. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya baby blues ini antara lain :
- Perubahan hormonal yang akan terjadi pada ibu pasca melahirkan. Hal ini akan mempengaruhi kondisi mood atau swing mood seorang ibu.
- Kesulitan beradaptasi. Hal ini pasti mutlak dialami setiap ibu muda khususnya, terasa sangat menyiksa tapi tetap harus dijalani.
- Kurang tidur, pastinya. Karena seorang bayi harus benar-benar diurusi ketika masih baru lahir. Mulai dari ASI setiap beberapa jam sekali, ganti popok kalau pup atau pipis, bahkan digendong ketika merasa tidak nyaman.
Hal itu juga yang saya rasakan 17 Tahun lalu. Ketika pertama kali melahirkan anak pertama, saya memang ingat betul bagaimana rasanya setiap hari seperti tekanan. Iya, tekanan yang berat. Karena itu adalah pertama kalinya saya melahirkan namun harus masuk ruang operasi, saya adalah anak yang jarang sakit apalagi harus berurusan dengan jarum suntik.
Selain itu, operasi bukanlah pengobatan atau bentuk tindakan medis ringan bagi saya, namun lebih merasa seperti akan dieksekusi. Bayangkan saja saya harus menjalani operasi besar. Belum lagi dengan nyeri selama 3 hari pertama pasca operasi yang membuat saya ingin menangis saja. Ditambah lagi dengan harus belajar memberi ASI kepada bayi saya.
Namun semua itu dapat dijelaskan secara medis. Nah, yang waktu itu tidak saya pahami adalah kenapa saya selalu mearasa kesal, sedih, marah. Jangan mengira itu hanya marah pada orang atau benda, bahkan saya marah pada bayi saya sendiri. Setiap dia susah tidur, saya akan sangat marah sampai berfikir untuk mencubitnya.
Tentu saja sisi keibuan saya seakan menuntut perang. Dan peperangan itu tak pernah berujung sampai saya kadang merasa stres. Hingg akhirnya pindah ke rumah kami sendiri, rumah BTN yang jauh dari hiruk pikuk kampung. Di situ saya baru mulai bisa menata emosi saya, mulai merencanakan model parenting keluarga yang saya mau.