Anehnya, saya tidak pernah mengeluh kepada siapapun, termasuk kepada orang tua sendiri. Dan saya tidak pernah mengucap sekalipun untu mau pindah dari sekolah favorit tersebut. Saya hanya mampu menjalani dengan hati yang berat hingga akhirnya saya dapat lulus juga dari sekolah menengah pertama tersebut.
Memang terbukti, Ketika saya keluar dari sekolah tersebut, dan saya masuk ke sebuah SMA (dan lagi-lagi saya satu sekolahan dengan kakak saya, si Bintang Kelas), saya sama sekali tidak merasa tertekan. DI SMA, saya merasa keluar dari guru yang toxic.Â
Saya betul-betul menemukan jati diri saya sehingga ketika menjalani pelajaran pun, jadi lebih ringan dan semakin bersemangat. Apalagi ada seorang guru Bahasa Indonesia yang saya pandang sangat unik, nyeleneh, namun mampu membuat peserta didik menjadi terpesona.Â
Dia mengajar dengan ciri khasnya, serius tapi santai. Penuh canda tapi ppeserta didik tidak ada yang berani songong terhadapnya. Hingga saya semakin terpikat dan mmengikuti jejak beliau untuk memperdalam Bahasa Indonesia.Â
Di SMA, aura saya menjadi terang, bahkan berhasil mendapatkan nilai terbaik, di samping selalu menduduki 5 besar rangking di kelas. Saya bangga kepada guru motivator saya, dan hingga saat ini, saya akan terus mengenang jasa beliau yang telah mengembalikan kepercayaan diri saya di sekolah.
Peran Guru dalam Trapesium Usia
Saya artikan secara lebih luas bahwa guru di dalam trapezium usia adalah orang tua, guru di sekolah, guru mengaji, para dosen yang telah menndidik dan menuntun saya. Diagram trapezium usia memperlihatkan keterhubungan dan pengaruh dari guru-guru yang saya sebutkan di atas.Â
Saya menjadi guru, karena keluarga besar saya adalah memang guru. Ibu saya kepala sekolah dasar, ayah saya guru SPG/SMA, dan semua kakak-kakak saya juga guru. Karakter para guru yang saya dapatkan mulai dari sekolah TK hingga saya kuliah, sangat memengaruhi dan memberikan andil yang sangat besar di dalam bagaimana saya berperan sebagai pendidik.
Banyak juga sisi seorang guru favorit kemudian menjelma di dalam diri saya, sehingga saya pun cenderung melakukan hal yang sama di dalam kelas, seperti halnya guru Bahasa Indonesia saya zaman SMA. Nama guru saya tersebut adalah Bapak Edi.Beliau sangat dekat dengan murid, namun kedekatan tersebut tidak membuat kami menjadi lancing. Itu yang membuatnya berbeda dan memiliki pesona dan aura postitif di mata anak didik.