KETIMPANGAN RELASI KUASA DALAM KASUS PELECEHAN SEKSUAL DI UNIVERSITAS RIAU
Dalam universitas tentu terdapat adanya relasi antar sesama individu di dalamnya. Relasi yang terjadi terus menerus ini akan mengakibatkan terbentuknya pola interaksi yang berbeda-beda antar individu. Relasi dosen dan mahasiswa menjadi salah satu relasi yang dominan karena adanya ketergantungan kebutuhan mahasiswa (dalam menyelesaikan studinya) kepada dosen tersebut. Dosen secara langsung maupun tidak langsung dibebankan peran sebagai pendidik mahasiswa tersebut untuk nantinya mampu menjadi pribadi yang lebih baik.
Peran sebagai pendidik di lingkungan universitas sudah seharusnya melekat kepada setiap dosen dan dicerminkan melalui sikap dan perilakunya dalam lingkungan universitas. Namun, tidak sedikit dosen yang menyimpang dari peran yang dibebankan. Peran yang seharusnya digunakan untuk nantinya ditiru dan dijadikan pedoman mahasiswa, berbalik menjadi peran yang membuat mahasiswa trauma, peran tersebut ialah peran predator seksual.
Dalam kasus yang telah diungkapkan pada bab kronologi kejadian, tertulis dengan jelas bahwa terdapat peran yang misleading yang telah dilakukan oleh Syafri Harto. Mahasiswa yang polos dan penuh harap atas penyelesaian studinya, Ia (pelaku) lecehkan dengan otak jahatnya. Dalam kasus tersebut, terlihat dengan jelas adanya ketimpangan relasi kuasa di dalamnya yang mengakibatkan Syafri selaku pelaku mampu berani melakukan pelecehan seksual tersebut.
Adanya ketimpangan relasi kuasa yang terjadi di dalam kasus tersebut dapat kita kaitkan dengan Teori Kekuasaan yang diungkapkan oleh Michel Foucault. Dalam pemikirannya, foucault menjelaskan adanya korelasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Ketika berbicara tentang kekuasaan, Foucault mengaitkannya dengan bagaimana produksi pengetahuan berkaitan dengan cara seseorang mengatur dirinya sendiri dan orang lain. Dalam arti lain, Foucault berpendapat bahwa pengetahuan atau ilmu yang didapatkan seseorang akan mampu menghasilkan kekuasaan.
Berangkat dari pemikirannya tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa ketimpangan relasi kekuasaan pada kasus di Universitas Riau terjadi lantaran dosen yang bertindak sebagai pelaku memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan mahasiswa yang merupakan korban. Dosen yang merupakan pelaku berusaha untuk memanipulasi korban dengan mengancam jika kemauannya tidak diikuti, maka mahasiswa tersebut tidak mampu untuk menyelesaikan studinya. Hal ini dibuktikan dengan perkataan Syafri menurut korban yakni “yaudah kalau nggak mau.” yang membuat korban merasa tidak berdaya melalui manipulasi yang ia lakukan.
Dalam menjalankan aksi bejatnya, Syafri menggunakan model relasi kekuasaan yang diungkapkan oleh Foucault yakni model relasi Governmentality. Dalam model relasi kuasa Governmentality, kekuasaan dapat berlangsung jika subjek mempunyai pilihan terhadap kebebasan dan memungkinkan untuk mimilih tindakan yang paling berguna. Foucault mengartikan model relasi kuasa Governmentality sebagai model yang dibuat melalui interaksi subjek yang ditujukan untuk orang lain Arti lain dari model relasi kuasa Governmentality ialah bahwa dalam relasi kuasa ini, adanya kecenderungan untuk mengontrol, membuat dan mengkontruksi bentuk-bentuk pilihan tindakan dari orang lain.
Syafri sebagai pelaku menggunakan model Governmentality yakni mengatur dan mengontrol korban melalui privilege yang ia miliki sebagai dosen. Munculnya privilege yang digunakan Syafri lahir karena adanya pengetahuan yang lebih dari dirinya daripada korban. Korban yang merasa dirinya tidak berdaya karena tuntutan ekspektasi masyarakat terhadap dirinya menjadi ketakutan dan tidak mampu menyuarakan hal yang terjadi. Korban yang berinisial L akhirnya melaporkan kegiatan yang Syafri lakukan dengan bantuan pers mahasiswa dan berujung kepada dicopotnya Syafri sebagai dosen dari Universitas Riau.
Oleh sebab itu, pengetahuan memiliki peran yang unggul dalam munculnya kekuasaan di dalam diri masyarakat. Banyak masyarakat yang merasa lebih takut dan segan kepada orang-orang yang berpendidikan karena semakin tingginya pengetahuan yang didapati seseorang, maka hal tersebut mampu menaikkan derajat seseorang dan menyebabkan timbulnya kekuasaan di masyarakat.
KESIMPULAN
Pelecehan seksual menjadi topik yang seharusnya diglorifikasikan kepada seluruh entitas masyarakat karena hal tersebut tindakan kriminal yang tentunya akan membuat trauma sang korban. Terlebih, banyak korban yang tidak mampu untuk mengungkapkan kronologis kejadiannya karena banyak masyarakat yang masih kurang teredukasi tentang bahaya dan pentingnya kasus pelecehan seksual. Pun lebih dari itu, salah satu hal yang membuat korban enggan untuk speak up ialah adanya ketimpangan relasi kuasa yang terjadi antara korban dan pelaku.