Vape, vapour, e-cig, e-juice, e-liquid, personal vaporizer (pv),e-cigaro, electrosmoke, green cig, smartsmoke, dan smartcigarette merupakan berbagai nama dagang dari rokok elektrik. Penggunaan vape atau rokok elektrik ini telah menjadi salah satu tren di Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
Berdasarkan hasil survei penggunaan tembakau pada usia dewasa (GATS) tahun 2021 menunjukkan prevalensi perokok elektrik naik dari 0,3 persen pada 2011 menjadi 3 persen pada 2021. Untuk prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun juga meningkat sebesar 19,2 persen. Jumlah perokok elektrik tersebut meningkat 10 kali lipat jika dibanding pada tahun 2011.
Vape/rokok elektrik merupakan sebuah alat yang memliki fungsi seperti rokok, namun tidak melalui pembakaran daun tembakau melainkan dengan pemanasan liquid yang diubah menjadi uap/ aerosol. Liquid yang digunakan umumnya mengandung berbagai bahan kimia seperti nikotin, prophylin glycol (PG), vegetable glycol (VG), serta perasa/ flavor. Pro-kontra mengenai keamanan dari rokok elektrik yang dianggap mempunyai keamanan yang lebih baik dari rokok konvesional telah banyak dibicarakan oleh berbagai pihak.
Lalu, apakah tren ini patut untuk diikuti? Sedangkan keamanan dari rokok elektrik saja masih dipertanyakan?
Sebelum mengambil sikap dengan adanya tren vaping ini, mari kenali beberapa risiko bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan rokok elektrik.
Pertama, mengenai toksisitas dan bahaya vape/rokok elektrik yang tidak dapat dielakkan. Perlu dipahami bahwa kandungan zat berbahaya pada rokok konvensional juga terdapat pada rokok elektrik. Nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik terdapat pada rokok elektrik.
Potensi toksisitas dari kandungan liquid/ aerosol pada rokok elektronik seperti kandungan nikotin yang dapat menyebabkan adiksi, nitrosamine (TSNa) yang bersifat karsinogen, glycol/ gliserol menyebabkan iritasi saluran napas dan paru, aldehyde/formaldehyde menyebabkan iritasi saluran napas dan paru, acrolein/ otoluidine / 2-naphthylamine yang bersifat karsinogen, logam dan heavymetals menyebabkan inflamasi paru, jantung, sistemik, kerusakan sel dan karsinogen , serta Particulate matter (PM)/UFP yang dapat menyebabkan inflamasi paru, jantung dan sistemik serta bersifat karsinogen.
Selain itu, rokok elektronik diperkirakan menjadi “pintu masuk obat-obatan (Gateway drugs)” artinya pemakai rokok elektrik dapat membuat menjadi pengguna seterusnya dan menjadi adiksi serta berpotensi menggunakan obat lain seperti kokain. (New England Journal of Medicine, 2014)
Kedua, mengenai bahaya rokok elektrik bagi lingkungan sekitar dan orang lain. Menurut Dr. Stanton Glantz, Director for the Center for Tobacco Control Research and Education University of California, San Francisco. “If you are around somebody who is using e-cigarettes, you are breathing an aerosol of exhaled nicotine, ultrafine particles, volatile organic compounds, and other toxins” yang berarti bahwa orang yang ada disekitar perokok elektrik / e-cigarette juga dapat menghirup aerosol nikotin yang dihembuskan, partikel ultra halus, senyawa organik yang mudah menguap, dan racun lainnya. Sehingga, lingkungan atau orang disekeliling perokok elektrik juga berpotensi mendapat dampak buruk dari bahaya rokok elektrik. Gangguan yang mungkin ditimbulkan dapat berupa distress pernapsan/sulit bernaps, gangguan fungsi paru dan penyakit pernapasan.
Selain potensi bahaya bagi kesehatan, lingkungan disekitar perokok elektrik terutama pada orang non-perokok akan sangat terganggu dengan aerosol yang dihasilkan dari rokok elektrik tersebut. Risiko iritasi mata mungkin dapat terjadi apabila terkena uap/aerosol rokok elektrik utamanya ditempat dengan ventilasi udara buruk.
Ketiga, mengenai dampak ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya tren rokok elektrik. Mengutip pernyataan Mike Moffat dalam artikelnya “The Government’s Role in Economy” (2017), bahwa peran pemerintah dalam ekonomi sejatinya dibagi menjadi tiga hal salah satu diantaranya adalah mengendalikan eksternalitas. Sebagaimana kita ketahui, rokok elektrik ini menyebabkan eksternalitas negatif yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh bagi penggunanya dan masyarakat sekitar. Dengan banyaknya penyakit yang ditimbulkan dari perilaku pengguna rokok elektrik maka kedepannya akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan.
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada PMK nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, telah ditetapkan kebijakan pengenaan cukai terhadap vape yang berlaku mulai 1 Juli 2018 tetapi dilakukan relaksasi hingga 1 Oktober 2018. Pengenaan cukai dengan tarif 57% ini merupakan intensifikasi cukai hasil tembakau dan merupakan instrumen pemerintah untuk mengendalikan konsumsi serta pengawasan terhadap peredaran vape.
Sementara itu Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga menaikkan tarif minimum harga jual eceran (HJE) rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Hal tersebut disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Senin (13/12/2021). Untuk rokok elektrik yang terbagi atas tiga kategori, yaitu padat, cair sistem terbuka dan cair sistem tertutup. HJE tertinggi adalah untuk kategori cair dengan sistem tertutup yang dikenakan Rp 35.250 per cartridge.
Dengan mengetahui setidaknya tiga hal diatas, pengguna maupun calon pengguna rokok elektrik dapat mempertimbangkan kembali mengenai keuntungan yang didapat dengan risiko bahaya yang akan diperoleh nantinya. Tidak hanya bergerak karena tren. Namun, bijaklah dalam mengelola tren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H