Mohon tunggu...
Erna Manurung
Erna Manurung Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

Senang menulis hal Ikhwal masalah-masalah kesehatan jiwa, sesekali jalan-jalan di sekitar rumah lalu melaporkannya ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku sudah Memaafkan Papa, Ma

6 Desember 2021   09:12 Diperbarui: 6 Desember 2021   09:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Mentor tidak memaksaku meneruskan proses konseling kalau aku tidak sanggup. Tetapi ia memberi kesempatan aku menjerit, atau meraung, atau memaki, bahkan menangis tersedu-sedu kala aku merasa sesak di perjalanan mundur itu.

Aku melakukan apa yang dulu amat kuhindari: menangis. Aku ingin seperti anak kecil. Seperti waktu Bou Amie mengusap-usap kepalaku setelah lelaki keparat itu menamparku. Aku  memaki Tuan Igor sebagai lelaki yang tidak kalah rendahnya dengan sebutan yang ia sematkan kepadaku: si lembek, dan lain-lain. Aku tidak ingin menyebut dia ayah, atau bapak. Aku tidak sudi!

Aku memaki ayahku sejadi-jadinya.

***

Hari ini sesiku berakhir. Aku tidak sanggup menghitung berapa banyak air mata ini tumpah. Mungkin jauh lebih banyak dari air mata Rara. Aku sudah berdosa kepadanya. Harusnya, kepada ayahkulah aku meminta pertanggungjawaban. Tetapi ia sudah pergi. Mungkin saja ia mendengar apa yang kusampaikan di atas peti matinya. Aku bilang, "Selamat jalan Pak. Biarpun bapak mendidik aku dengan keras, tapi aku ingin mengingat bapak sebagai orang yang baik."

Mana aku tahu kalau bapak dulu harus makan sisa-sisa ubi saking kerasnya hidup zaman itu. Mana aku tahu bapak korban keluarga berantakan. Mana aku tahu kalau bapak dulu sering dihina dan dimaki-maki sebagai orang miskin. Mama tidak pernah menceritakan hidup bapak dahulu. Andai bapak tidak melampiaskannya kepada kami. Tetapi Tuhan menolongku pada waktunya. Meski lewat seseorang yang sering kusakiti. Aku akan minta maaf padanya, Pak. Aku janji.

***

Tiga bulan terasa seperti setahun. Dan selama bulan-bulan yang panjang itu, Sahat hanya meneleponnya dua kali. Sekali ucapan selamat ulang tahun, yang sekali lagi permintaan maaf sudah menyakitinya berkali-kali. Tetapi Sahat tidak menjelaskan apa saja yang ia alami selama mengikuti pertemuan-pertemuan itu.

O ya, Sahat pernah meminta izin pada Rara untuk menangis. Menangislah, katanya pada Sahat. Tante Amie bilang, Sahat mengikuti pertemuan demi pertemuan dengan perasaan yang campur aduk. Namun berkat bimbingan Pak Mentor, ia bisa melewati fase yang cukup sulit itu. Yaitu ketika harus mengingat kembali masa kecilnya, mengingat perlakuan buruk ayahnya, dan lintasan luka-lukanya. Namun bedanya, kali ini ia merasakan Seseorang yang hadir bersamanya. Seseorang yang memeluknya erat, setelah ia tahu mengapa ayahnya berbuat demikian.


Tiga pekan lagi malam tahun baru. Sahat ingin mengajak Rara datang menemui ibunya. Sambil mengatakan, "Aku sudah memaafkan Bapak, Ma." ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun