Yaaaa, betul 'kan tebakanku. Pasti itu yang dia maksud.
***
Peristiwa lima hari lalu, kala Rara mengadu kalau Sahat mendorong dia ketika sedang jalan-jalan di mall. Respons kami seragam: tinggalkan Sahat dan tenangkan diri. Biar kami yang berbicara pada Sahat.
Rara menerima saran kami. Namun setelah itu dia seolah berbicara pada dirinya sendiri, "Mungkin aku hadir supaya bisa menolong dia ya?" Tapi rupanya pengakuan Rara menimbulkan kesewotan Citra. Dia setengah memaki Rara dan menyebut gadis itu sebagai pahlawan kesiangan.
Aku segera menengahi. Aku bilang pada Citra, hentikan komentar dia pada seseorang yang sedang bingung dengan apa dialaminya. Dia menerima Sahat dengan tulus, tapi tak menduga kalau Sahat sering menyakiti. Aku sampai hafal kapan Rara mengadu kalau Sahat menghina dia, hafal kapan Sahat kemudian meminta maaf berkali-kali dan hafal kapan Sahat mengulangi perbuatannya, berikut hafal kapan Rara akan melebarkan toleransinya pada Sahat.
Aku pikir, hentikanlah semuanya di sini. Sonya yang turut hadir di situ mengajakku menyingkir sebentar. Ia minta aku mengajak Rara bicara dari hati ke hati.
***
Kami ingin kembali ke topik inti tentang dugaan Rara atas dirinya. Ah, rasanya dia tidak mengidap sindrom masokisme. Menurutku, Rara masih sebatas ingin menjadi penolong bagi semua orang. Dan ini yang dimanfaatkan oleh Sahat.
"Lebih baik Sahat menghadapi ayahnya. Mengapa ia kerap dipukul dan direndahkan sedemikian? Bukan menjadikan kamu pelampiasan," kataku.
Rara terdiam.
"Banyak perempuan dihinggapi perasaan useless kalau tidak berbuat sesuatu. Ini pasti gara-gara sejak kecil kita dicekoki dengan pemahaman yang keliru. Perempuan bernilai kalau ini dan itu. Kalau tidak seperti ini dan itu, kita bukan perempuan baik. Nah, kamu merasa useless 'kan, kalau tidak menolong Sahat. Padahal yang bisa menolong Sahat adalah dirinya sendiri. Maksudku, dia mesti bicara pada ibunya tentang luka-luka akibat perlakukan ayahnya."